Minggu, 22 Desember 2013

Selamat Hari Ibu, Mah{}

Wanita itu adalah matahariku saat pagi hingga sore hari. Dan pada malam yang buta, dia bagaikan bintang hidupku. Selalu menyinariku sejak balita hingga dewasa ini dan selalu mengindahkan pemaparan dewasa ini sehingga menjadi sempurna. Beliau yang telah mengandungku selama sembilan bulan. Aku tau, selama sembilan bulan itu beliau menahan berat beban, selain itu ia merintis kesakitan, letih dalam kehidupannya, aku tau itu. Bahkan beliau yang melahirkanku, beliau mempertarungkan nyawanya untukku, beliau rela tertusuk dalam kesakitannya demiku. Dia tak kenal lelah dalam memberi kognisi kepadaku. Dia pantang menyerah dalam mendidikku, hingga aku memiliki potensi yang makro. Dia bersudi mengasuhku dalam suka dan duka. Ia selalu sabar ketika menyuapi makan dan minumku yang susah di atur ini. Ia satu-satunya manusia yang mengasihi susunya untukku.  Ia tak pernah malas memandikanku, bahkan tak pernah jijik dalam membersihkan najisku. Patriotismenya yang begitu tak terkalahkan dan rentan, ketika ideologi menaklukkannya. Selalu mahir ketika ambekan ini terlontarkan. Selalu memprioritaskan urusannya dalam dilema yang tergencit. Selalu mengalami finansial bahkan harus di hadapkan oleh inflasi demi kebutuhanku. Tidak ada yang bisa mengalahkan dedikasinya jika ada yang agresif menyerangku, ia selalu reaktif. Loyalitasnya yang sangat tinggi, dalam jeritan dan tangisanku tengah malam. Tak pernah enyah dari kenyataan dan sungguh welas asih saat aku bertingkah laku konyol. Seseorang yang mencintaiku untuk pertama kalinya dan mencintaiku penuh apa adanya, bahkan cintanya tanpa batas, tanpa kuminta.  Seseorang yang selalu mempunyai ribuan maaf bahkan tak terhingga akan hatinya kulukai, pikirannya kusedihkan, fisiknya runtuh, dan aktivitasnya rumit. Seseorang yang merindukanku saat aku lagi tak erat padanya, saat aku menjauhkan atau jauh darinya. Seseorang yang selalu mengarahkanku kejalan yang lurus. Seseorang yang selalu mengingatkanku selalu berbuat baik, jujur, sholeh, berbakti, bekerja keras, selalu bersyukur dengan apa yang ada, dan ribuan alasan lainnya. Seseorang yang membuatku menjadi kuat dan berani. Seseorang yang ikhlas menerimaku apa adanya sebelum tau seperti apa rupa, objek, dan perbuatan perilakuku. Aku sadar, sadar betapa beratnya menjadi dia, menjadi apa yang kuinginkan, kepuasan hati ini. Begitu menyusahkannya diriku untuknya, sungguh dosa banyak yang telah ku tabung, tetapi iya selalu menjadi malaikat penyabar dan pemaaf. Mereka-mereka mengatakan aku selalu di manja dan di timang, tangisan nakal dari bibirku, takkan jadi deritanya. Tangannya yang sangat-sangat halus bahkan suci, sesuci hatinya, telah mengangkat diri yang sangat berat ini, jiwa dan raga seluruh hidupku ini, rela dia berikan kepadaku. Aku ingin membalas kebaikan-kebaikannya yang telah mematikan dirinya, walau ada yang bilang "hanya memberi, tak harap kembali" . Aku ingin selalu mendoakan dia apapun doanya, menjadi yang terbaik di mata kepalanya, berbakti, dan menghadapi apapun yang menyangkut paut dengan dirinya. Kan ku lawan hingga cacat jika ada orang yang melawan dan menghina dirinya, aku akan buktikan dan aku pasti bisa, ya bisa. Dialah seseorang yang tak kunjung rampung mendoakan segala-galanya tentangku di setiap tangannya yang meminta, arah kepalanya yang ke tengokan bawah, dudukannya di atas sejadah dalam panasnya siang dan dinginnya malam. Kasihnya tak terhingga sepanjang masa dan konsolidasi denganku yang tak akan pernah retas. Ada dan tiada dirinya, dia selalu ada dalam hati yang merah ini. Aku benar-benar mencintainya, dia manusia dan wanita pertama yang kucinta, yaitu ibuku.

Sabtu, 09 November 2013

Kursimu bukan di samping ku, kawan

Tepat delapan hari sesudah  pendakian bersama, aku dan kedua kawanku tidak bisa jauh dari wana liar, yaitu tempatku dan kawanku bermain. Kami sudah merencanakannya sesudah pulang dari pendakian bersama. Hari sabtu, 1 November 2013 kami memutuskan untuk bermain kegunung Gede Pangrango, jawa barat atau di daerah puncak. Kami melewati jalur cibodas, dimana aku dan kawanku sudah pernah menapakkan kaki di jalur dan gunung yang sama. Buatku, mendaki gunung yang sudah pernah kutapakkan, adaptasikan, dan telah ku tidurkan tengah adrinya, bukan berarti gunung itu telah selesai kujelajah. Akan tetapi lebih sering kudatangi, bersua, bercengkrama pada hutan-hutan rimba dan makhluk lainnya, lebih luas pula pengalamanku, inovasiku, dan lebih mencolok serta mendalami akan di balik gunung tersebut. 

Aku memulai petualanganku yang cukup menggemblengkan diriku dan kawanku pukul 17:30 WIB. Menggunakan kendaraan motor merupakan hal yang melelahkan untuk sampai di jawa barat sana. Tetapi, dengan sarana itulah kami beranjak pergi dari lingkungan kotaku hingga tempat lingkungan alamku bermain. Kami menggunakan dua motor, aku eksklusif dan dua kawanku berdua boncengan, seperti laki-laki yang sedang  beranjak dan memberi sanjungan kepada sang betina. Baskara pun terbenam dan candra menunjukkan keindahannya pada malam itu, sekaligus menggelapi planet bumi yang kami tinggalkan untuk tetap hidup sekaligus menjadi penjelajah. Angin malam pun merasuki anggota gerak tubuh. Ia selalu setia menemani perjalananku hingga sana, sesekali membuatku mengantuk pada malam yang berbahagia itu. Kondisi badan yang melelahkan, angin malam yang merangkul konstan, asap kendaraan yang membaui, knalpot racing yang bersuara cempreng, kelangsungan itulah yang membuat bersahabat pada malam yang buta.

Dari sekian lamanya waktu berjalan, perjalanan kami di berhentikan oleh polantas dari kaum gadok, puncak. Kami di spesifikasi dan di mintai identifikasi. Cukup ekspresif bapak polisi itu memberi pengungkapan, gagasan, dan gambaran yang tepat pada kami. Kendala kami hanyalah di surat izin mengemudi, dimana kami belum mempunyai sim atau kurang dari umur 17 tahun, sehingga kami termasuk melanggar formalitas politik berkendara. Kami kena sangsi tilang. Lama kami membahas permasalah itu untuk mencari jalan tengahnya. Aku berbicara kepadanya sangatlah santai, seperti dengan kerabat dekat.Tidak pakai lama, aku memberi sinopsis dan preskriptif kepada sang polisi. Sang polisi pun sebelum kami memberi uang damai sebesar Rp.40,000 ia menahan stnk kami dan membuka harga sebesar Rp.125,000. Alhasil, aku membiusnya dengan lontaranku sehingga aku merogoh kantong dengan uang sebesar Rp.40,000 untuk dua motor atau dengan kawanku tanpa  menahan stnk kami. Kami pun memilih warung terdekat untuk lebih menikmati malam yang dingin sampai tulang-berulang dan termenungi dramatis tilangan malam itu. Polantas tersebut melakukan aktivitas secara efisien sampai rampung, entah sampai kapan. Aku hanya berimaji dan melirik visual ke sudut polantas yang komposit itu.

Gunung Gede Pangrango

Telah sampai di safanarma gunung Gede Pangrango dan waktu menjawab pukul 00:10 WIB minggu, 2 november 2013. Makan dan minum, mengisap udud sampai retas, melakukan packing, kemudian merintis ke jalur pendakian pukul 01.00 WIB. Menikmati perjalanan dengan dua kawan di tengah hutan, mengayun genggaman senter ke kiri dan ke kanan, dan seakan rival kami adalah hutan yang mengelilingi dalam jebakan. Karena pada malam hari tumbuhan melakukan respirasi, beda dengan pagi hari yang melakukan fotosintesis. Maka dari itu kami berebut oksigen pada malam yang buta itu. Dalam seperempat perjalanan kami merasakan perut yang tandus, kekeringan akan makanan. Panci, air, kompor, piring, sendok, kami siap menjadi kokki pendaki. Keluhan ini menjadi tokoh utama yang memutuskan benang mental dalam perjalanan yang tak kunjung rampung. Seiring menapak, canda tawa selalu ironis, lantaran wacana kami yang lelucon berputar pada porosnya. Sekarang.. Hening, tak bising, pikiran dan penglihatan agak kalut, bercengkrama dan sanjungan dalam hati. Terkucur sudah derasnya air keringat ini.

Kandang Badak

Pukul 06.00 WIB kurang lebih, kami sampai diKandang Badak salah satu base camp terakhir sebelum menggapai puncak. Kami melepas semua rintihan ini dalam dinginnya shelter 2400mdpl. Logistik.. Ya, hal pertama yang kami lakukan untuk mengambil makanan untuk di masak, di hidangkan, dan di makan oleh perut yang keroncong ini. Kami pun tidur dalam bivak yang tak tertutup rongga-rongganya sehingga lebih dominan angin merasuki tubuh kami ketimbang dalam tenda. Tak lama kami tidur dalam baiknya istirahat, pukul 09.00 WIB kami terbangun dalam lelahnya badan ini. Makan makanan ringan, packing, siap, segera menuju puncak pukul 10.30 WIB. Kami lebih memilih agra Gede dan lagi-lagi atis menjadi sahabat perjalanan.

Melirik terus-menerus tidak putus-putus, sampailah kami dipuncak Gede 2958mdpl pukul 12.10 WIB. Ada yang berbeda dalam pendaki, pendakian kali ini. Kami di pertemukan oleh manusia-manusia sholeh. Leader dari mereka adzan dalam teriknya matahari. Kami diajak untuk sholat dzuhur berjamaah sekaligus sholat jamak ashar. Pengetahuanku bertambah, ketika salah satu rekan mereka mengajarkanku wudhu dengan cara yang berbeda. Kami semua sholat ke arah kiblat yaitu kearah ka'bah atau ke sisi barat dan bersujud dalam kasarnya pasir bebatuan ini. Aku dan kawanku tetap mengenakan sepatu dalam sembayang. Setelah selesai beribadah, aku lupa nama dari pendaki tersebut siapa, ia seorang ustadz dari jakarta timur. Mereka meminta waktunya sebentar dari kami untuk sharing ilmu atau berceramah mengenai islam dan ibadah. Subhanallah.. Ustadz itu begitu mahirnya dalam mengungkapkan ceramahnya, begitu senangnya aku mendengarkan ia ceramah, begitu pula wawasan dan ilmu pengetahuan agamaku menjadi agak lebih dapat, di banding sebelumnya. Sekitar satu jam kami berpisah dengan rombongan mereka. Aku menikmati puncak Gede bersama kawanku sembari menatap keindahan kawah Gede, samudra awan, dan gunung Pangrango di arah barat. Tidak banyak hal yang kami lakukan, melainkan mengambil view sekitar untuk menjadi dokumentasi yang cakap ini. Kami pun turun menuju Kandang Badak pada pukul 14.10 WIB dan sesampai Kandang Badak pukul 14.50 WIB. Duduk terdiam, persendian mulai bergemetar, nafas lewat mulut yang mulai berasap, akan tetapi hangatnya parafin yang menetralisir dan meminimalisir dinginnya yang kukenal sore itu. Perut telah terisi makanan untuk sumber energi dan cokelat untuk kalori supaya kami tetap gagah akan kelangsungan kami di alam liar itu. Kami pun turun pukul 16.20 WIB, untuk menuju pos pendakian awal. Dan, pada pukul 19.10 WIB kami sampai di pos pendaftaran. Meneduh sejenak dan tidur sesaat, karena hujan mengguyur kawasan gunung Gede Pangrango dan sekitar. 

Detik-detik pait telah marasuki

Sekitar pukul 19.30 WIB kami pulang dengan baju yang basah keringat irisan hujan, celana yang kotor gabungan lumpur, sepatu yang bercorak kotoran tanah, dan pikiran kalut, kacau, tak karuan, dari kaki gunung Gede Pangrango. Mimpi utama kami adalah ingin cepat sampai pada tujuan dengan selamat, tanpa tersendat, tanpa halangan, tanpa musabah, untuk istirahat dan melanjutkan keesokannya, aktivitas sebagai seorang pelajar. Menerabas hujan malam, lantaran kami mengejar waktu. Pikiran telah terputus benangnya, indera penglihat memerah dan menghangat karena kurang istirahatnya serta tertidur dalam hitungan detik di perjalanan, anggota gerak dari ujung kepala sampai ujung kaki lesu, tak berdaya, tidak lagi bersemangat, sebab kami mendaki tektok dalam sehari tanpa istirahat yang pulih. Oh tidak, kami terjebak macet.. Perjalanan yang masih sangat jauh membuat putus asa seketika.. Lagi-lagi pikiran di hantui oleh kekacauan.. 

Sekarang kami berada dijalan Raya Bogor, Parung. Kelajuan kawanku sedikit agak ngebut, aku hanya mengikutinya dan agak sedikit lebih cepat ketimbang sebelumnya yang selalu tunggu-menunggu dalam jarak yang dekat. Tiba-tiba tersendat gas motorku.. Aku memberi indikasi kepada mereka dan mereka telah menoleh.. Aku pun terhenti dari kelajuan yang cepat dan sekali lagi teriak untuk memberi tanda bahwa bensinku habis.. Lagi-lagi mereka hanya mengangguk-aguk keduanya. Tidak.. Bensinku telah habis ludes atau mengering.. Aku mendorongnya dan bertanya dengan ibu-ibu di pinggir jalan, dimana jual bensin terdekat. Hanya kegelapan, angin malam, dan selingan kendaraan yang hanya menemaniku pada malam yang susah buatku untuk mencapai segala keinginanku.. Tidak lama kemudian aku menemukan penjual bensin eceran, dan langsung kubeli bensin itu sebanyak satu liter dengan uang sebesar Rp.7.500. Selesai sudah beban yang kuderita ini. Tetapi.. Uangku habis total.. Aku tak punya pegangan uang sama sekali karena habis terpakai untuk sebelumnya.. Ya tuhan.. Tidak mungkin satu liter ini bisa membuatku sampai dirumah, perjalananku masih sangat jauh.. Aku terdiam, termenung, sesekali berimaji tentang kawanku yang enyah meninggalkanku secara instan.. Entah penyebab dari ia meninggalkanku apa ?. Aku tetap menikmati malam yang sengsara itu secara santai dan tidak tergoyangi oleh ketakutan. Aku bingung.. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi.. Tidak ada yang bisa ku andalkan melainkan diriku sendiri.. Malangnya nasibku.. Aku merasa iba kepada diriku sendiri, astaga..

Pikiranku yang sebelumnya tak berpikir menjadi terus berpikir. Aku menaruh prinsip aku harus tetap hidup, hidup dalam keberanian, hidup dalam sendiri, tetap hidup untuk sampai rumah. Terus berpikir dalam-dalam.. Aku terus berdoa kepada tuhan dalam rongga mulut kecil ini.. Untuk di beri kemudahan, di beri jalan, di beri kekuatan, di beri keselamatan, dan perlindungan.. Aku memutuskan pikiranku yang matang ini untuk meminta uang kepada sang pengendara motor. Dengan maksud ingin meminta uang, uang untuk membeli kan bensin yang seperempat di motorku ini. Memang hal itu bodoh, tetapi menurutku itu metode yang matang dan pasti berhasil untuk aku mencapai kerumah. Aku memberhentikan motor yang sedang berhenti dijalan atau sedang lambat dijalan. Aku tidak memberhentikan yang sedang melaju cepat, karena aku berpikir ia sedang sibuk, mengejar waktu, dan yang pasti tidak akan memberi waktunya untukku.

Seseorang hendak menaiki motornya dan berlayar, aku menghampirinya dan berkata "pak, mohon maaf. Saya boleh minta uang sepuluh ribu tidak ? saya dari gunung, uang saya habis, perjalanan saya masih jauh pak, tolong saya" mukaku yang termelas. Bapak itu menjawab "waduh dek, jujur-jujuran nih, uang saya tinggal segini, tinggal dua ribu, kalau saya punya uang lebih pasti saya kasih dek, mohon maaf dek'' sambil memperlihatkan dompetnya.. benar, uangnya tinggal dua ribu rupiah. Aku melanjutkan perjalananku dan tidak menyerah begitu saja. Mungkin itu hanya ujian buatku dan aku harus tabah menjalaninya. Melaju lambat, seorang bapak-bapak berumur 40an, menurut pikiranku. Langsung saja aku berbicara hal yang sama seperti tadi. Sama.. Bapak itu mengatakan uangnya pas-pasan, tetapi menurutku ia tidak ingin memberi, sedikit kelihatan dari wajah yang tak percaya kalau diriku lagi kesusahan. Lagi-lagi aku harus di hadapi ujian yang berat. Aku terus berdoa kapada yang maha kuasa untuk di beri kemudahan.. Dan, metodeku masih kulanjutkan sampai selesai pada waktunya. Memberhentikan bapak-bapak tak berhelm dan meminta hal yang sama. Bapak itu sedikit tak percaya dan mengatakan "sebentar, depan lagi depan lagi''. Entah maksudnya apa, tetapi dalam benak pikiranku ia takut di guna-guna atau di bohongkan atau pun di labrak. Jelas, tengah malam, berpakaian tak ideal, membuat warga heran menurutku. Bapak itu belok kegang kecil dan berhenti, aku berhenti dan turun dari kendaraanku. Ia memberiku sepuluh ribu dan aku sangat berterima kasih kepadanya sekaligus berterima kasih kepada tuhan yang telah memberi ilmu tak terlihat, aku yakin ia membantuku dalam keheningan. Dengan uang tadi aku bisa membeli bensin yang hampir habis.. Aku lebih sering bertanya kepada warga sekitar dan tukang supir angkot, akan arah ciputat kemana ?. Jawaban dari mereka salah satunya "masih jauh". Pikiranku sedikit down. Aku tidak mau bensinku habis lagi, karena aku harus mendorongnya, aku tidak mau. Aku menargetkan harus mendapatkan sepuluh ribu lagi.. Lagi-lagi bapak satu itu agak tidak percaya akan sikapku. Ia tidak memperhatikan wajahku tetapi ia mendengarnya. Aku tetap mengikutinya dan berada di sampingnya. Pergerakannya sangat intelektual dan akting berhentinya yang cukup bagus karena takut, takut aku sebagai penjahat dan ada yang mengikuti dari belakang, maka dari itu ia berhenti seketika dalam hitungan detik lalu berjalan lagi hampir tiga kali ia melakukan hal seperti itu, dan yang terakhir kalinya di sebuah warung kaki lima. Aku mengatakan "pak, bapak mau bantu saya nggak ? kalau tidak yasudah!" tegasku. Lalu ia memberi sepeluh ribu kepadaku dan aku mengatakan "ikhlas gak nih pak ?". Bapak itu mengangguk dan mengatakan "yaudah gih, awas mobil". Begitu baiknya bapak itu, yang sebelumnya ku kira bapak yang sombong, tak acuh, dan menyebalkan.

Selesai sudah permasalahanku dan tidak ada beban pikiran yang membuatku takut. Aku berdoa dengan kencang di atas flyover ciputat "yaallah berikan kemudahan, keselamatan, di beri rizki yang berlimpah kepada bapak yang telah membantuku tadi yaallah". Aku berada di UIN, dan sekarang dirempoa mengisi bensin, dan melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sesampai dirumah pukul 23.00 WIB, beres-beres, menyucikan diri, lalu tertidur dalam lelahnya tubuh.
  
Hidup Dalam kemunafikan 

Sedikit terpikir, mengapa kawan yang selalu kubanggakan, kuanggap teman sejati, teman terbaik dari yang lain, teman yang solider, begitu salah ku anggapnya ?. Kawan satu organisasi, satu keluarga, satu rasa. Organisasi ini yang salah, apa mereka yang salah masuk organisasi ini ?. Kata-kata slogan yang selalu memberikan kesenangan hati, kesetia kawanan yang berarti, kumuntahkan lepeh-lepeh. Mereka mementingkan individualisme dan idealisme, aku tak suka itu. Omongannya penuh kemunafikan dan kenyataannya tidak sederajat dengan apa yang telah di lontarkannya pada sebelumnya. Pura-pura suci dan mengatasnamakan tuhan. Membutuhkan bila tertekan, tetapi tak acuh kalau berkuasa. Aku tahu mereka sangat lelah dan ingin sampai tujuan dengan cepat, sama halnya denganku. Aku juga ingin. Tetapi disini posisiku lagi tertekan, seharusnya teman yang erat mengertikan kawannya yang sedang kesulitan. Buatku dia bukan teman, apalagi kawan. Karena teman dan kawan menurutku berbeda.

Rekaman Kecil 

  Hapus mementingkan individualisme
Begitu pula idealisme
Stop kemunafikan dan omongan slogan
Lebih baik di asingkan dari pada menyerah dalam kemunafikan
Pura-pura suci mengatasnamakan tuhan
Merintih kalau ditekan tetapi menindas kalau berkuasa
Jauh lebih baik hidup sendiri dari pada berteman dalam kebohongan menyakitkan
Aku tidak takut sendiri
Tuhan juga sendiri
Dan, dia bisa menjadi maha kuat
Karna itu


-malam mingguku, ku ambil untuk menulis blog yang penuh kesan ini. Tepat seminggu setelah perjalanan, aku membuat blog ini.

Jumat, 01 November 2013

Bersama Kalian, Kami menjadi satu

Pendakian Bersama

Acara   : Pendakian bersama sman 82 jakarta.
Tujuan  : Mempererat persaudaraan satu sama lain, mencintai alam dan segala isinya,
                 menyukuri ciptaan tuhan dan menghargai sedikit makanan dan minuman.
Lokasi    : Gunung Papandayan, Jawa barat, Garut.
Tanggal   : 25,26,dan 27.

"Pendakian bersama gunung papandayan, ini lah spot terbaik untuk di daki oleh para kaum anak adam untuk perdananya mendaki gunung. Tentu saja medan yang tersedia tidak amat ekstrem dan cukup ramah untuk di daki oleh pendaki pemula. Gunung Papandayan ini terletak diJawa barat, kecamatan Cisurupan, kabupaten Garut atau 70km sebelah kota bandung. Gunung ini memiliki ketinggian 2665mdpl (meter di atas permukaan laut). Ada dua jalur untuk menjadi sarana tracking titik awal gunung ini. Pertama jalur Cisurupan Garut dan yang ke dua Pengalengan Bandung. Menurut sepengetahuanku dan imaji terus berpikir dan mengingat, terdapat 4 kawah digunung Papandayan ini yaitu, kawah Mas, kawah Baru, kawah Nangklak, kawah Maruk. Gunung ini mempunyai ke indahan tersendiri menyerupai kawah yang menarik perhatian indera penglihatan untuk terus melirik dan mengundang kamera menjepret untuk segera di abadikan di dalam kamera. Kedua hutan mati, ke  indahannya tidak kalah menarik dengan yang sebelumnya sebab, pohon-pohonnya mati. Bagaimana ciri-ciri dari pohon tersebut ?. Pohon tersebut tidak berdaun sepeserpun, warnanya menua atau kering menghitam, dan pohon tersebut tidak lah tinggi-tinggi. Mengapa pohon itu bisa mati ?. Lahir dari sebuah bencana, yakni erupsi gunung Papandayan pada tahun 2002 silam. Kejadian tersebut menjadikan hutan mati terlihat sangat eksotis. Ketiga, berakhir di padang edelweiss yang bernama Tegal Alun. Padang luas dengan di penuhi Anaphalisjavanica, nama latin edelweiss atau sering kita sebut bunga abadi terbentang luas hingga 35 hektar".

JAKARTA, 25-10-2013

Duduk dalam ruangan dalam bisingnya gegap gembita manusia. Menunggu, menunggu, dan menunggu bel akhir pada pembelajaran hari jumat pada kala itu. Semua anggota organisasi pencinta alam WerdiBhuwana dan peserta pendakian tidak sabar untuk segera menapakkan kaki diJawa Barat, Garut. Sehabis sholat jumat kami semua pulang kerumah masing-masing untuk mengambil carrier dan segala isinya yang sudah kami persiapkan dari jauh hari dengan matang.

Sore kala fajar terik di atas kepala, keringan mulai membasahi lengan, menahan dahaga yang kering, menunggu keberangkatan menuju Cisurupan, Garut. Kilau kerucutnya telah terbenam. Kami semua berkumpul disekolah kami, sekolah menengah atas yaitu, sman 82 jakarta. Ditkp kami mempersiapkan diri lebih cakap sekaligus membongkar isi carrier untuk mengecek kembali isi bawaan dan melakukan packing agar tersusun rapi tidak amburadul.

Tepat pukul 11:56 WIB, kami berangkat dengan menggunakan bus tronton TNI yang sudah kami sewa. Tronton ini lah yang akan membawa kami dari singgasana menuju tujuan awal kami. Kami memulai perjalanan dari safanarma atau titik nol. Aku tidak hiperbolis akan gunung Papandayan, karena aku sudah pernah menapakkan kakiku di sana pada awal tahun 2013 silam. Cukup berpengalaman untuk membawa peserta.

Duduk berhadapan dan duduk tersilang di bawah salah satu dari set formasi dari posisi kami duduk di tronton tersebut. Duduk tersilang termenungi dan melihat jalan sepanjang perjalanan salah satu metode yang dapat aku lakukan ketika itu. Sekeliling gelap gabungan tuna netra, lampu kendaraan berseling, irisan tukang asongan yang timbul konstan. Dan, memberi salam pisah kepada ibu kota Jakarta akan keberangkatanku.

Sekarang jiwaku di bawah alam sadar, terdiam, lesu, tak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja menggerakkan badan, tangan, kaki, dan sesekali menggelengkan kepala ke sisi kiri dan sebaliknya. Bumi terus berotasi, waktu berjalan konstan, malam hari berubah menjadi pagi, berharap waktu tempuh lebih cepat dari pada skejul yang telah tercantum agar bisa mempersiapkan lagi dengan cakap. Aku belum juga terbangun, lelapnya tidur lebih bersahabat pada pagi itu.

Cisurupan, Garut 

Cisurupan
Lelapnya tidur membangunkanku pada pagi itu sekitar pukul 06:15 WIB. Sekelilingku hening, tidak bising, dan nun riuh. Aku mengumpulkan tenaga yang baru setengah nyawa kuperoleh. Oh tidak... Kami di berhentikan oleh penduduk desa sana. Karena pendaki di wajibkan untuk menaiki mobil pick up tanpa kendaraan lain. Aku tidak terima begitu saja. Planning kami, tronton lah yang membawa kami dari awal perjalanan sampai dengan akhir perjalanan. Selain itu uang kami tidak mendukung, kalau pun mendukung menurutku tidak ekspresif dan produktif. Memang, hal tersebut sudah formal untuk didesa sana sembari mereka mencari nafkah untuk sesuap nasi dan untuk keluarga tercintanya, akan tetapi kami sudah izin kepada Koramil terdekat dan jawabnya dari salah satu anak adam Koramil tersebut telah mengizinkan. "Naik pick up kami tidak bisa pulang, tidak naik pick up perjalanan kami sia-sia" lontarku. 

Terus berpikir, imaji menembus logika, ingin berbicara takut bergumam. Lama kami berbincang untuk mencari jalan tengah dari perselisihan itu. Dan pada akhirnya supir-supir tua itu mengizinkan kami untuk melanjutkan perjalanan menuju pos 1 atau pos pendaftaran. Kami mengocek dan ingin memberi uang setengah dari pick cup itu. "Tidak, saya tidak mau nerimanya. Kami semua disini tidak mau di beri jatah tanpa kerja. Udah gapapa jalan aja" ujarnya. Saya memberi 5 bungkus rokok kepada supir-supir garut itu sebagai pengganti uang 600 ribu atau 2 pick up. Kita semua saling merasa tidak enak, tetapi itu lah cara dari segalanya untuk melengkapi lapang kosong kami. ''Untuk kali ini boleh, lain kali jangan ya. Karena adek juga jauh dari Jakarta kasihan'' tegasnya. Kami pun berangkat pada pukul 08:56 WIB dan sampai pos pendaftaran sekitar pukul 09:45 WIB.

Gunung papandayan 

Kami semua meninggalkan egoisme dan idealisme  yang ada di dalam diri. Tetapi, kita hidup bersama dalam kehidupan demokrasi yang sekuler, maka dari itu aku mencari kebebasanku, mungkin begitu juga dengan mereka. Asas kebersamaan, seperjuangan, senasib sepenanggungan selalu kami terapkan dalam hal kecil kepada satu sama lain. Dalam hidup kita tidak di hadapkan oleh pilihan, tetapi kita sendiri lah yang memilih pilihan itu untuk menjadi inovasi kehidupan agar produktif.

Safanarma dari kaki Gunung Papandayan
Tepat pada pukul 10:45 WIB, kami berangkat dari pos pendaftaran dan tidak lupa mengambil foto untuk pertama kalinya secara bersama di tambah selipan spanduk dan berdoa kepada tuhan yang maha kuasa atas segalanya. Kami berdoa menurut kepercayaan dan agama kami masing-masing.

Di bantaran kawah
Aku sendiri lah yang membawa semua peserta untuk tracking atau di sebut juga dengan leader. Mendaki melintasi kawah yang berbau asap dari kawah tersebut di tambah air belerangnya yang sangat menusuk indera pencium. Saya menganjurkan lebih cepat perjalanan karena menimbulkan efek tidak baik bagi tubuh dan menyuruh peserta memakai masker atau slayer. Menapak jalan setapak, jalan yang penuh bebatuan tajam, kadang kala aku merasa risih pada telapak kakiku dan merintis kesakitan, mungkin sama halnya dengan yang lain. Menahan berat beban, satu-satunya beban terberat bagiku. Karena saat pendakian itu ada yang berbeda. Aku membawa semua tenda atau enam tenda beserta framenya. Berat carrier, kuperkirakan sekitar 25kg.

Selalu kami menemukan hal-hal lucu, hal-hal baru pada saat pendakian itu. Matahari mulai menusuk rongga mata, panas membakar kulit perlahan, keringat mengucur di dahi menetes hingga membasahi sekujur tubuh. Dan hampir setiap saat aku memberi nasihat akan membuang sampah pada kantong plastik atau tidak membuangnya sembarangan. Aku mengajari peserta lebih mencintai alam beserta isinya. Selain mencintai, melindungi dan menjaga juga menjadi pemimpin utama dari menjaga ekosistem alam. 

Hutan Mati

Keindahan hutan mati
Sehabis melewati ujian pertama yaitu melewati kawah, kami di hadapi dengan hutan mati. Papandayan menghadirkan panorama yang tak lagi gersang. Sambutan pepohonan yang tua menghitam akan menjadi pemandangan yang lazim seluas mata memandang. Para pengunjung dapat lebih menikmati perjalanan pendakian tak lagi seterjal di kawasan perkawahan. Di situ lah aku berpisah dengan rombongan peserta dan dua orang kawan aku dari organisasi WerdiBhuwana yang ikut membantuku dalam mendirikan tenda diPondok Salada. Sebelumnya aku sudah mempersiapkan salah satu dari panitia atau anggota WerdiBhuwana yang kutunjuk sebagai leader atau penggantiku sementara.

Terduduk, menarik nafas dalam - dalam
Panorama yang mempesona
Dan, menghembuskannya secara
pelan-pelan
Termenung, pikiran sedikit kalut
Terbesit melihat kenampakan alam, seakan mimpi belaka
Sudah lama tak bersua dengan mu alam terbuka
Tetap bergeming..
Satu..
Dua..
Tiga..
Beranjak dari singgasana
Merintis..
Hingga tempat berleha-leha


Base Camp, Pondok Salada
  
Kurang lebih pukul 13:30 WIB, kami semua bisa berkumpul bersama lagi diPondok Salada. Ya, tempat camp yang bernuansa sangat lega dan memiliki sangat kelebihan seperti, dekatnya dengan sumber air, pemandangannya yang mempesona sehingga mengundang mental untuk lebih berleha-leha dan memanja dalam hangatnya tenda secara tidak langsung dan edelweissnya yang seakan mengajak bercengkrama. 

Demo, menandakan perut yang tandus, kerongkongan yang begitu serat, air yang menetes perlahan jatuh ke tanah, mulut dan bibir yang mengering, baju yang basah tertimpa keringat, panas yang terik, matahari berada di atas kepala. Semua tidak menjadi permasalahan yang berarti, karena kita tertawa bahagia bersama. Bukankah itu menjadikan kita semua sama?, sama mengalami penderitan yang sama, dan bersama untuk saling menjaga.

Berada diPondok Salada
Lagi-lagi selalu kuingatkan padanya, jangan buang apapun, kemanapun, dan mengambil apapun. Agar bisa terus dinikmati banyak orang atau keturunan kita selanjutnya, sebaiknya kita cukup menikmati saja pemandangan keindahan tanaman ini tanpa harus memetiknya demi melestarikan Edelweiss. 
Seakan Edelweiss sedang menangis, karena salah satu temannya di petik
Selain tidak memetik bunga abadi, sebaiknya kita menanamkan prinsip tidak membunuh apa pun, tidak meninggalkan apa pun, dan tidak mengambil apa pun dari gunung ini sehingga keindahan Gunung Papandayan menjadi terus lestari. Prinsip itulah yang selalu kugunakan dan kuterapkan di alam liar.

Kami semua lebih memilih tidur sehari diPondok Salada dan untuk mengejar puncak pada pagi harinya. Kebersamaan, Tolong menolong, berbagi, tanggung jawab, tak acuh, selalu kami terapkan di dalam diri dan di dalam kehidupan petualang itu. Canda dan tawa menginovasi kehidupan kami yang sedikit menurun menjadi naik. 

Sebagai pencinta alam yang sungguh, aku tidak lupa beribadah kepada yang maha kuasa dan bersujut pada alas tenda yang menonjol karena rumput-rumput Pondok Salada. Aku selalu bersyukur dan selalu berdoa kepadanya agar di beri kekuatan, kemudahan, perlindungan, dan di jauhkan dari segala bahaya yang meruntuhkan diri kami.

Kabut mulai turun dan dingin mulai merangkul tubuh seperti ikatan yang tak mau lepas. Aku hanya memejamkan mata sejenak mendegarkan dentum napas yang bertalu-talu sembari menunggu masakan yang kumasak.  Perut yang telah terisi di tambah dengan tegukan air tak natural yaitu sumber air instan terdekat dari camp. Segarnya badan ini.

Kabut tebal tak beraturan itu mulai mempersua, matahari mulai berpindah pada porosnya, dingin mulai merasuk sukma. Malam mulai berkawan, kabut mulai merabah masuk, ujung-ujung kaki dan tangan mulai terasa kesemutan, matirasa dan linu, kedua tanganku bersua dan saling bergesekaan, sesekali meniup kearah rongga dan dingin yang menyelimuti permukaan kuping.

Aku menikmati malam itu seperti yang biasa kulakukan di kota. Duduk dalam lamunan panjang dan mencari rasa sepi dalam hidup yang terasing. Aku duduk menekukkan kedua kakiku menyanggahnya dengan kedua tanganku, menarik napas sepanjang-panjangnya sekaligus di temani sebatang racun paru-paru. Aku merasakan kenikmatan yang sudah lama takku dapatkan.

Aku tertidur dalam keheningan dan kicau merdu suara jangkrik, suara kodok yang selalu mendengkur, gonggongan suara pendaki lainnya yang memberikan efek dramatis malam. Khidmat kuucapkan pada malam yang panjang. Pukul 22:00 WIB, badan mulai merasuki kantung tidur atau sleeping bag. kehangatan dalam tenda mulai menetralisir dingin.

Tepat pukul 01:45 aku terbangun dalam dinginnya hutan. Kondisi cuaca tidak memungkinka. Karena pada pagi itu hujan turun membasahi kawasan gunung Papandayan dan kabut sangat amat sebal. Aku dan yang lain tidak mau ambil resiko derastis. Perjalanan menuju puncak kami undur hingga matahari menerbitkan dari arah timur menyinari bumi dan segala isinya.

Pukul 06:00 WIB, kami semua bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan summit attack. Tenda dan carrier kami tingal di base camp hanya saja perkelompok membawa carrier membawa keperluan seperti air minum, makanan ringan, bendera, spanduk, kamera, dan hal lain sebagainya. Tepat pukul 07:00 WIB, kami beranjak dari Pondok Salada menuju Tegal Alun tujuan selanjutnya kami.

Tanah, batu, ranting, menjadi teman setia dalam tengokan bawah
 
Kita berjumpa dengan jalan landai yang dominan, pohon-pohon nan rindang yang menyejukan, alunan nada yang tersusun berirama dari mulut para kenari yang melopat-lompat dari pepohonan, celoteh jangkrik yang bertalu-talu, riak air yang terciprat dari sepatu, suara ranting yang terinjak, semut-semut yang berjalan di atas pohon yang tumbang, menjadi teman setia dalam perjalanan yang buta.

 

Tanjakan Mamang



Salah satu tanjakan terberat di pendakian ini menurutku mungkin ia juga dengan yang lainnya. Tanjakan yang curam dan terjal. Harus tiap saat kami mengangkat kaki menjadi 90 derajat untuk mendaki ke arah atas. Tetapi rasa capai itu semua, akan membayar semua kecapaian kami nanti di puncak, kami tau dan kami percaya.

Tegal Alun 
Berada di titik akhir menanjak, Tegal Alun

Kecantikan Edelweiss, menerobos dinding gelap
Tegal Alun.. Ya, pada pukul 08:23 WIB kurang lebih, berakhir di padang edelweiss bernama Tegal Alun. Ladang yang begitu sangat ramai di penuhi oleh tanaman edelweiss. Lokasi ini bernuansa outdoor, tanpa di di selimuti oleh pepohonan. Senyuman lebar dan tak lupa mengucap rasa syukur atas segala kekuatan yang kami dapat dan lindungannya selalu. Tegal Alun menjadi tujuan akhir. Melewati trak yang bisa dibilang terjal, tetapi kita tetap bersemangat menapaki langkah demi langkah untuk mencapainya. Selama perjalanan pendakian tak henti-hentinya ucapan rasa kagum kepada Tuhan atas ciptaan yang luar biasa ini. Padang luas yang dipenuhi Anaphalisjavanica, nama latin edelweiss terbentang luas hingga sekitar 35 hektar kurang lebih, menurut perkiraanku. Edelweiss yang juga dikenal dengan sebutan bunga abadi kini termasuk tanaman langka. Banyak orang memetik dan menjual  bunga abadi ini di jadikan suvenir. Tak banyak yang dapat kami lakukan di sana, melainkan mengambil view dan di abadikan dalam kamera dan membuat video-video yang berbeda jenisnya.

Seiring berjalannya waktu kami berjabat tangan dengan dua orang bapak-bapak berumur 35 tahun kurang lebih, menurutku. Bertemu manusia baru merupakan hal yang menyenangkan bagiku, dimana aku bisa lebih memahami watak setiap manusia yang tinggal ditempat yang berbeda, memperpanjang tangan saudara ditempat entah beranta, bercerita tentang kampung halaman yang berbeda, memahami budaya yang berbeda, dan menikmati keindahan dari sudut pandang yang berbeda. Kami asik mengobrol sampai-sampai aku lupa perkenalan nama.. Kami saling bertukar cerita mulai dari mendaki gunung, semasa aku duduk di bangku sekolah begitu pun ia, keluarga, dan lain sebagainya. Banyak aku mendapatkan pengalaman yang berharga dari bapak lucu itu. Manusia yang berperawakan satu tinggi, satu pendek, warna kulit sawo matang, cara berbicara cukup jelas walaupun tersendat sedikit, cukup lucu dan menertawakan wacana pada saat itu. Bapak itu berasal dari Garut. Kami sudah seperti seumuran, tertawa bebas, berbicara bebas, tetapi dengan metode itu lah kami menjadi bersahabat.

Bapak lucu itu telah membuat organisasi pencinta alam di sekolah menengah atas sebanyak dua atau empat.. Aku lupa di antaranya.. Namun dalam di lapangan atau di medan perang ia selalu di belakang layar atau hanya mengasih intruksi kepada di dikannya. Bapak itu seseorang yang kuat dalam fisiknya maupun teorinya.

Di tengah bicara bapak itu mengatakan.. "Naik gunung gak harus sampai puncak, puncak itu cuma bonus.."

Waktu yang berjalan ketika diTegal Alun, kami pakai dengan sebaik mungkin dan semaksimal mungkin.

Sekitar pukul 10:50 WIB, kami turun kembali menuju kePondok Salada. Sesampai diPondok Salada pukul 11:30 WIB. Waktu terbuang hanya untuk masak, dimana memenuhi syarat isi perut yang lapar akan energi ini. Pukul 02:30 WIB, kami turun menuju pos awal untuk mengakhiri petualangan yang berkesan ini. Dan, pada akhirnya kami sampai di pos satu pukul 04:20 WIB. Makan, minum, membersihkan diri, menaiki tronton untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju Jakarta. Pukul 22:30 WIB kami sampai di tempat awal kami berkumpul. Beres-beres, pulang kerumah masing-masing dan tidak sabar bertemu sang orang tua tercinta, saudara-saudara tersayang, dan tempat sang berteduh panas dan hujan, di lanjutkan tidur, dan melakukan aktivitas sebagai pelajar.



Rekaman Kecil

Aku manusia
Manusia yang tidak percaya pada slogan
Patriotisme tidak akan tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan
Seseorang dapat mencintai segala sesuatu secara sehat, apabila mengenal objeknya
Dan, mencintai tanah air Indonesia
Dapat di tumbuhkan dengan mengenal Indonesia
Bersama rakyatnya dari dekat

Alam teman baik ku dan di sana tempat bermain ku

Aku mencari kebebasanku secara produktif, ekspresif, dan efektif
Aku ingin lebih mengetahui diri aku di alam terbuka
Karena aku suka tempat eksotis
Aku terasa kecil di mata alam
Digunung lah akan mengetahui diri anda yang sebenarnya
Hidup mandiri, tidak putus asa, pantang menyerah
 Digunung lah mata bisa terbuka secara lebar, indahnya yang menyempurna
Dan, mensyukuri kepada sang maha kuasa atas zat yang telah mengkontrabusikan tata surya
 Dan... Mensyukuri... Menghargai... Sebutir nasi begitu pula setetes air...
 Tidak meninggalkan apapun, kecuali jejak
 Tidak mengambil apapun, kecuali foto
Tidak membunuh apapun, kecuali waktu 

Karena itu aku naik gunug 

 -sultan-

Senin, 14 Oktober 2013

Mengkritik Takbir, Idul Adha

     Kilau kerucutnya yang telah terbenam, menunjukkan malam segera tiba. Ada kala di sudut pandang lain kita menunggu kehadiran kumandang. Apa yang di maksud kumandang dari kata tersebut ?. Ya, dimana tempat aku tinggal tepatnya di ibu kota Jakarta, bahkan di luar kota Jakarta, luar negara kita, negara Indonesia menunggu detik-detik takbir berkumandang akan hadirnya Idul Adha untuk keesokan harinya. Takbirnya amatlah menyentuh organ-organ tubuh, yaitu hati. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.. Lailahailallah huallahuakbar, allahuakbar walillahilham. Itulah potongan lirik dari kumandang tersebut. Merdunya sangat berbunga-bunga harum, seakan membasahi jiwa para manusia yang kering atau nihil dalam ruang kosong. Seiring berjalannya waktu, tidak membuat kumandangnya tak kunjung rampung, subhanallah... Majelis-majelis ta'lim ramai dalam bak mobil, segera berkeliling takbiran dengan para rekannya. Sapi, kambing, domba berlayar entah kemana tujuannya. Polisi pun mulai meramai, seperti reuni akbar di sepanjang jalan. Mungkin ia sedang wanti-wanti untuk mencegah keributan dijalan raya atau kemacetan dalam rangka takbiran. Malam yang begitu berbeda dengan malam sebelumnya. Apa yang membuatnya berbeda ?. Suara kumandangnya, seolah-olah termenungi diri sendiri, itulah yang di rasakan para manusia sekitar. Metode yang dapatku lakukan hanya bergeming, termenung, dan sangat terbesit serta mulut tak sanggup melontar sepecerpun. Heningnya malam itu membuat berimaji. Bersyukur sekali sampai saat ini masih di beri kesempatan untuk membuka lebar indera pendengar untuk mendengarkan takbir berkumandang. Sungguh nikmat malam itu, berharap tahun depan dapat mendengarkannya lagi... Amin, amin, amin yarabbalalamin.

Minggu, 22 September 2013

Wedhok Dahulu

       Arah jam sembilan, ada sekumpulan satpam riuh yang sedang bergurau. Mungkin ia sedang mendeskripsikan atau sedang membahas subjektivitas masa kini dan berita seusianya. Lalu arah jam empat, gerombolan wanita muda yang sedang menginovasi. Dan arah jam dua, manusia yang sangat asik sedang berinteraksi satu sama lain.

       Aku hanya menikmati sore kala itu dengan cara yang berbeda. Sudah lama aku menyendiri menikmati kekosonganku. Aku memilih tempat yang lebih hening jauh dari gegap gembita, karna aku suka kesendirian tanpa meriahnya manusia di sekitar. Aku menikmati dengan cara hidupku sendiri dan sesekali bergurau secara verbal. Dengan siapa ?.

       Sore itu, aku mendatangi suatu tempat dimana yang sering atau hari-hari ku mampirkan. Hanya untuk sekedar bercengkerama sekaligus produktif. Tempat yang bernuansa outdoor. Aku cukup menyukai tempat itu, karena tidak begitu di padati gegap gembita manusia. Hanya saja suara sesaat yang di timbulkan oleh kendaraan bermotor, karena letaknya tepat berada di pinggir jalan.

       Mencoba menghampiri dan terduduk lah ia. Manusia ranum dan ideal untuk sepantarannya. Berperawakan postur badannya tidak terlalu tinggi, kulitya putih, dan sangat jarang melihat mata lawannya. Mungkin ia karakter seseorang yang pemalu atau belum biasa dengan manusia-manusia baru. Tetapi kala dulu kami ibarat seperti sepasang kaki 'Bila yang satu melangkah berjalan yang satunya lagi harus ikut melangkah agar tidak jatuh'. Namun lamanya detik, menit hingga jam, hambatannya hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Kami di jauhkan oleh waktu.

       Mataku memandangnya, menggerakkan badan, dan memainkan pergelangan kaki dan tangan.

       " Apa kabar sekarang ? ". Ucapku kepada manusia ranum itu.

       " Hmm kurang baik ". Jawabnya dengan nada pelan.

       " Lu gimana ? ". Tanya dia.

       " Wah sama dong ". Sambil tertawa di sertai gelengan kepala.
  
       Lagi-lagi ia sukar melihat pandangan lawan perbincangannya. Matanya yang membuang begitu saja, tetapi dari cara ia berbicara sangat lah lembah lembut dan memalu, seakan sedang di sanjung oleh para prajuritnya. Sekaligus mukanya yang memerah dan pergerakkannya yang salah tingkah. Manusia itu sudah cukup dewasa ketimbang dulu yang aku rasakan. Ia terbesit pada saat itu.

       " Katanya kangen pingin ketemu ? kok sekarang malah malu ? ". Tegasku.

       " Gapapa malu aja ". Nadanya yang sangat pelan.

       " Dari pada nanti sampe rumah nyesel ? hahaha ". Jawabku dengan terkekeh.

       Ia tertawa mendengar gurauanku. Beranjak lah ia dari posisinya yang membuang tadi ke hadapan depan. Akan tetapi matanya yang masih kabur-kaburan entah kemana. Sel-sel otakku berimaji.

       " Emang kangen kenapa ? ". Tanyaku yang ingin mengetahui isi jawaban darinya.

       " Gapapa kangen aja ".

       " Pasti ada alesannya dong ? ". Membuat pertanyaan yang terpojok, sehingga harus di jawab.

       " Ya kangen aja, udah jangan ketemu. Sebenernya sih udah lama, cuma baru berani ngomong 
          sekarang aja ". Jawab darinya.

       '' Gak berani kenapa ? ".

       " Gapapa, genak aja ".

       Aku mencoba menyusun benang percakapan yang tak beraturan, mencoba menjadikan suatu benang menjadi begitu rapih. Aku menatap matanya secara linier. Kita saling bertukar cerita, tentang cinta, tentang pengalaman, tentang sekolah, tentang keluarga dan masih banyak lagi lainnya. Kita begitu asik bertukar cerita, walaupun bising suara manusia hingga menyelimuti permukaan kuping. Terkadang kita memainkan mimik wajah, di tambah gerakan badan agar terlihat lebih ekspresif. Tetapi, itu lah yang membuat suasana kala itu bersahabat. 

       Aku bingung agar suasana tetap menjadi obrolan, karena ia sukar membahas pokok bahasan, selalu aku yang mendahuluinya. Ketika itu aku mengawali ceritaku, yaitu tentang cintaku. Sebuah hubungan yang sudah berjalan cukup lama. Tetapi akhir-akhir ini hubungan aku tak lah harmonis lagi. Kata sayang pun jarang di gunakan, sekalinya di gunakan juga tak berarti. Aku bingung dengan hubungan yang makin elips ini. Aku ingin hubunganku tetap lurus tidak tersendat tanpa ada batu yang  menghalang atau pun beling bercecer di jalan. Sudah lama hubunganku yang tak jelas ini terjadi. Entah penyebab dari si tak jelas ini apa. Mungkin dari cara ia hidup ? mungkin tidak pernah menuruti apa yang aku lontarkan ?. Tetapi aku tidak marah, aku memberi kebebasan pada dirinya. Namun berubahnya sikapku yang perduli, perhatian lebih, tidak mau kehilangan, hilang seketika. Mungkin dengan pemaparan saya, sikap ia hilang begitu juga. 

       Cukup lama aku menceritakan tentang cintaku kepada si manusia ranum itu. Ia memberi solusi-solusi, nasihat-nasihat dari caranya sendiri. Seseorang yang bingung atau terjerembak dalam ketakutan.. Seseorang yang masih belum bisa melupakan.. Seseorang yang masih di hantui perasaan lamanya.. Seseorang yang takut berjalan sendiri.. Seseorang yang takut aka hidup sendiri, tak mampu beranjak untuk berjalan sendiri. Kenapa manusia takut untuk sendiri ?, kenapa manusia takut untuk memulai ?, kenapa manusia takut tersendut menanti ?, kenapa manusia mudah di lupakan dan melupakan ?. Dan, semua itu adalah rasa takut. Perasaan yang enggan menerima ruang yang kosong atau ruang yang lapang. Tetapi, ketika kosong kau takut akan hampa, ketika itu kau berpikir hanya kepada benda. Kelapangan adalah konseptual untuk menuju kehidupan yang lebih sempurna.

       Ketika kita asik bercerita masa-masa, tatapannya berlikat ketika di tanya.

       " Gua dulu sama sekarang beda banget ya ? ". Lontarku hanya menerka.

       " Iya beda bangeeeett ". 

       " Emang kenapa kalo dulu ? dan kenapa kalo sekarang ? ".

       Ia bergeming, tetapi untuk beberapa lama berlalu ia berucap. Palanya hanya tertunduk, matanya hanya menatap sesaat tak mampu menatap lebih lama, ucapannya sedikit tersendat.

       " Iya lebih better aja, sekarang dewasa banget lebih ganteng ". Kata sandungan yang ia berikan.

       Ironisnya lagi ia berkata sangat jujur ketika itu, unek-unek di hati dan perasaannya tak malu untuk di katakan. Lelahnya isi hati yang terpendam di pecahkan pada saat itu. 

       Aku hanya termenung melihat belaka itu, terkadang kita atau manusia lainnya hidup untuk menghidupkan diri sendiri, agar tetap bisa menjalankan hidup yang sangat panjang.  Tetapi, di sudut pandang lain kita di tambah juga membutuhkan hidup antar sesama manusia. Menjalankan suatu hubungan cinta untuk menciptakan sebuah kehidupan selanjutnya. Tetapi, ketika kita menolak dan bergeming dalam lamunan yang panjang, hanya untuk mengubah karakter manusia, ketika itu kita tak akan pernah bisa menerima perasaan itu secara abadi, walaupun bisa dengan cara memaksakan. Manusia memang mempunyai subjektivitas sendiri akan makna cinta, tetapi cinta itu hidup dan tumbuh sendiri dalam keadaan yang tak bisa kita ubah.

       Sore itu semakin larut. Aku mendekretkan untuk pulang. Aku melihat ia begitu senang karena cerita-ceritaku, ocehan-ocehanku tadi, tanpa di sadari olehnya. Dan aku merasa ia sedang berkalut-kalut karena harinya ku temani. Aku berdiri dan meninggalkan singgasana. Aku hanya berhiperbolis belaka dan memberi salam tinggal padanya. Dan, angin, daun-daun serta berdampingan dengan ranting di pohon, pergerakkan awan, tanah, serta para makhluk hidup lainnya. Mereka menjadi saksi atas cerita kehidupan setiap manusia.

Jumat, 06 September 2013

Ada Yang Hilang


     Hidup untuk hari ini dan melakukan aktivitas lainnya. Mencari, mengulas dan menikmati detik kehidupan. Selalu saja aku menemukan hal yang baru. Terkadang membekas dalam nurani dan ada juga yang ku benci. Manusia dan makhluk lainnya. Malam itu aku mencoba menikmati kehidupan dengan yang berbeda. Memilih suatu tempat untuk menganalisis apa yang terjadi dalam benak pikiran ku. Aku cukup lama berada di tempat itu. Tempat dimana cerita ini dimulai. Kehidupan ku lebih banyak tercipta di malam hari itu. Entah, aku menyukai suasana seperti itu. Ketika angin malam menyelimuti ibu kota, sungguh aku menyukai malam. Banyak cahaya datang pada malam, aku suka keadaan itu.

     Aku menyukai kesendirian, karena aku dapat memahami diriku sendiri dan memahami sekelilingku. Penyebab bisa di bilang sedang bersedih. Malam itu aku berada di sebelah rumah yang terdapat garasi. Duduk terdiam memikirkan hal-hal sebelumnya yang membuat aku menjadi agak aneh seketika. Aku menikmati hidup dengan caraku. Agar pikiran otakku kembali padam dan tidak ingin memikirkan yang enggan di sukari dan membuat hal itu terpikir sepanjang waktu bahkan hari.

     Bumi terus berotasi. Hanya duduk tersilang yang saya dapat lakukan dan membakar sebatang, dua batang, tiga batang dan seterusnya di temani segelas air putih. Di tkp aku merasa kehilangan. Kehilangan apa ? Entahlah. Yang jelas aku merasa kehilangan sesuatu yang sudah ku abadikan. Malam semakin larut, tidak ada perubahan dari gerak badan ku dan sesekali menggelengkan kepala.

     Seketika terdengar alunan nada yang tersusun rapih. Aku mencoba memainkan nada-nada itu lewat rongga-rongga mulut kecil ini. Tersadar bahwa lagu yang ku mainkan sangatlah sedih. Bersahabat dengan permasalahan ku sekali. Masalah ku belum juga terpecahkan, tetapi dengan kesendirian ku pada saat itu membuat hatiku merasa sedikit lega. Aku bisa memanfaatkan kesendirianku. Banyak yang ku ambil darinya. Aku suka kesendirian.

     Kepada senja aku berbisik dan kepada malam aku bersenandung. Aku ingin bercetita tentang kasih sayang, tentang cinta, tentang hubungan, tentang jarak, tentang sebuah kepercayaan hubungan, tentang keikhlasan, tentang kesendirian. Lagi-lagi cinta. Lama kami tidak bercakap. Ya.. Hanya bercakap di hati. Selalu menanya pertanyaan yang jawabannya tanda tanya. Bahkan jawabannya ku ketahui sendiri tanpa di sadari orang lain.

     Tak mampu membuat cerita lagi, yang sebelumnya lebih indah, lebih baik lagi. Aku tidak mengerti keadaannya sehingga membuat diriku sedikit agak penat. Mungkin ia merasakan hal yang sama atau sudah bertemu sang kuda. Terus berpikir, logika menembus dimensi imaji. Merenggut perlahan logikaku, merusak sel-sel peredaran darah, sekarang memasuki saraf otak, mengendalikan sistem penggerakan, merusak pola pikir dan membuat kegelisahan. Tapi bagiku, butuh waktu lama untuk keluar dari zona itu.