Minggu, 22 September 2013

Wedhok Dahulu

       Arah jam sembilan, ada sekumpulan satpam riuh yang sedang bergurau. Mungkin ia sedang mendeskripsikan atau sedang membahas subjektivitas masa kini dan berita seusianya. Lalu arah jam empat, gerombolan wanita muda yang sedang menginovasi. Dan arah jam dua, manusia yang sangat asik sedang berinteraksi satu sama lain.

       Aku hanya menikmati sore kala itu dengan cara yang berbeda. Sudah lama aku menyendiri menikmati kekosonganku. Aku memilih tempat yang lebih hening jauh dari gegap gembita, karna aku suka kesendirian tanpa meriahnya manusia di sekitar. Aku menikmati dengan cara hidupku sendiri dan sesekali bergurau secara verbal. Dengan siapa ?.

       Sore itu, aku mendatangi suatu tempat dimana yang sering atau hari-hari ku mampirkan. Hanya untuk sekedar bercengkerama sekaligus produktif. Tempat yang bernuansa outdoor. Aku cukup menyukai tempat itu, karena tidak begitu di padati gegap gembita manusia. Hanya saja suara sesaat yang di timbulkan oleh kendaraan bermotor, karena letaknya tepat berada di pinggir jalan.

       Mencoba menghampiri dan terduduk lah ia. Manusia ranum dan ideal untuk sepantarannya. Berperawakan postur badannya tidak terlalu tinggi, kulitya putih, dan sangat jarang melihat mata lawannya. Mungkin ia karakter seseorang yang pemalu atau belum biasa dengan manusia-manusia baru. Tetapi kala dulu kami ibarat seperti sepasang kaki 'Bila yang satu melangkah berjalan yang satunya lagi harus ikut melangkah agar tidak jatuh'. Namun lamanya detik, menit hingga jam, hambatannya hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Kami di jauhkan oleh waktu.

       Mataku memandangnya, menggerakkan badan, dan memainkan pergelangan kaki dan tangan.

       " Apa kabar sekarang ? ". Ucapku kepada manusia ranum itu.

       " Hmm kurang baik ". Jawabnya dengan nada pelan.

       " Lu gimana ? ". Tanya dia.

       " Wah sama dong ". Sambil tertawa di sertai gelengan kepala.
  
       Lagi-lagi ia sukar melihat pandangan lawan perbincangannya. Matanya yang membuang begitu saja, tetapi dari cara ia berbicara sangat lah lembah lembut dan memalu, seakan sedang di sanjung oleh para prajuritnya. Sekaligus mukanya yang memerah dan pergerakkannya yang salah tingkah. Manusia itu sudah cukup dewasa ketimbang dulu yang aku rasakan. Ia terbesit pada saat itu.

       " Katanya kangen pingin ketemu ? kok sekarang malah malu ? ". Tegasku.

       " Gapapa malu aja ". Nadanya yang sangat pelan.

       " Dari pada nanti sampe rumah nyesel ? hahaha ". Jawabku dengan terkekeh.

       Ia tertawa mendengar gurauanku. Beranjak lah ia dari posisinya yang membuang tadi ke hadapan depan. Akan tetapi matanya yang masih kabur-kaburan entah kemana. Sel-sel otakku berimaji.

       " Emang kangen kenapa ? ". Tanyaku yang ingin mengetahui isi jawaban darinya.

       " Gapapa kangen aja ".

       " Pasti ada alesannya dong ? ". Membuat pertanyaan yang terpojok, sehingga harus di jawab.

       " Ya kangen aja, udah jangan ketemu. Sebenernya sih udah lama, cuma baru berani ngomong 
          sekarang aja ". Jawab darinya.

       '' Gak berani kenapa ? ".

       " Gapapa, genak aja ".

       Aku mencoba menyusun benang percakapan yang tak beraturan, mencoba menjadikan suatu benang menjadi begitu rapih. Aku menatap matanya secara linier. Kita saling bertukar cerita, tentang cinta, tentang pengalaman, tentang sekolah, tentang keluarga dan masih banyak lagi lainnya. Kita begitu asik bertukar cerita, walaupun bising suara manusia hingga menyelimuti permukaan kuping. Terkadang kita memainkan mimik wajah, di tambah gerakan badan agar terlihat lebih ekspresif. Tetapi, itu lah yang membuat suasana kala itu bersahabat. 

       Aku bingung agar suasana tetap menjadi obrolan, karena ia sukar membahas pokok bahasan, selalu aku yang mendahuluinya. Ketika itu aku mengawali ceritaku, yaitu tentang cintaku. Sebuah hubungan yang sudah berjalan cukup lama. Tetapi akhir-akhir ini hubungan aku tak lah harmonis lagi. Kata sayang pun jarang di gunakan, sekalinya di gunakan juga tak berarti. Aku bingung dengan hubungan yang makin elips ini. Aku ingin hubunganku tetap lurus tidak tersendat tanpa ada batu yang  menghalang atau pun beling bercecer di jalan. Sudah lama hubunganku yang tak jelas ini terjadi. Entah penyebab dari si tak jelas ini apa. Mungkin dari cara ia hidup ? mungkin tidak pernah menuruti apa yang aku lontarkan ?. Tetapi aku tidak marah, aku memberi kebebasan pada dirinya. Namun berubahnya sikapku yang perduli, perhatian lebih, tidak mau kehilangan, hilang seketika. Mungkin dengan pemaparan saya, sikap ia hilang begitu juga. 

       Cukup lama aku menceritakan tentang cintaku kepada si manusia ranum itu. Ia memberi solusi-solusi, nasihat-nasihat dari caranya sendiri. Seseorang yang bingung atau terjerembak dalam ketakutan.. Seseorang yang masih belum bisa melupakan.. Seseorang yang masih di hantui perasaan lamanya.. Seseorang yang takut berjalan sendiri.. Seseorang yang takut aka hidup sendiri, tak mampu beranjak untuk berjalan sendiri. Kenapa manusia takut untuk sendiri ?, kenapa manusia takut untuk memulai ?, kenapa manusia takut tersendut menanti ?, kenapa manusia mudah di lupakan dan melupakan ?. Dan, semua itu adalah rasa takut. Perasaan yang enggan menerima ruang yang kosong atau ruang yang lapang. Tetapi, ketika kosong kau takut akan hampa, ketika itu kau berpikir hanya kepada benda. Kelapangan adalah konseptual untuk menuju kehidupan yang lebih sempurna.

       Ketika kita asik bercerita masa-masa, tatapannya berlikat ketika di tanya.

       " Gua dulu sama sekarang beda banget ya ? ". Lontarku hanya menerka.

       " Iya beda bangeeeett ". 

       " Emang kenapa kalo dulu ? dan kenapa kalo sekarang ? ".

       Ia bergeming, tetapi untuk beberapa lama berlalu ia berucap. Palanya hanya tertunduk, matanya hanya menatap sesaat tak mampu menatap lebih lama, ucapannya sedikit tersendat.

       " Iya lebih better aja, sekarang dewasa banget lebih ganteng ". Kata sandungan yang ia berikan.

       Ironisnya lagi ia berkata sangat jujur ketika itu, unek-unek di hati dan perasaannya tak malu untuk di katakan. Lelahnya isi hati yang terpendam di pecahkan pada saat itu. 

       Aku hanya termenung melihat belaka itu, terkadang kita atau manusia lainnya hidup untuk menghidupkan diri sendiri, agar tetap bisa menjalankan hidup yang sangat panjang.  Tetapi, di sudut pandang lain kita di tambah juga membutuhkan hidup antar sesama manusia. Menjalankan suatu hubungan cinta untuk menciptakan sebuah kehidupan selanjutnya. Tetapi, ketika kita menolak dan bergeming dalam lamunan yang panjang, hanya untuk mengubah karakter manusia, ketika itu kita tak akan pernah bisa menerima perasaan itu secara abadi, walaupun bisa dengan cara memaksakan. Manusia memang mempunyai subjektivitas sendiri akan makna cinta, tetapi cinta itu hidup dan tumbuh sendiri dalam keadaan yang tak bisa kita ubah.

       Sore itu semakin larut. Aku mendekretkan untuk pulang. Aku melihat ia begitu senang karena cerita-ceritaku, ocehan-ocehanku tadi, tanpa di sadari olehnya. Dan aku merasa ia sedang berkalut-kalut karena harinya ku temani. Aku berdiri dan meninggalkan singgasana. Aku hanya berhiperbolis belaka dan memberi salam tinggal padanya. Dan, angin, daun-daun serta berdampingan dengan ranting di pohon, pergerakkan awan, tanah, serta para makhluk hidup lainnya. Mereka menjadi saksi atas cerita kehidupan setiap manusia.

1 komentar: