Senin, 14 Oktober 2013

Mengkritik Takbir, Idul Adha

     Kilau kerucutnya yang telah terbenam, menunjukkan malam segera tiba. Ada kala di sudut pandang lain kita menunggu kehadiran kumandang. Apa yang di maksud kumandang dari kata tersebut ?. Ya, dimana tempat aku tinggal tepatnya di ibu kota Jakarta, bahkan di luar kota Jakarta, luar negara kita, negara Indonesia menunggu detik-detik takbir berkumandang akan hadirnya Idul Adha untuk keesokan harinya. Takbirnya amatlah menyentuh organ-organ tubuh, yaitu hati. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.. Lailahailallah huallahuakbar, allahuakbar walillahilham. Itulah potongan lirik dari kumandang tersebut. Merdunya sangat berbunga-bunga harum, seakan membasahi jiwa para manusia yang kering atau nihil dalam ruang kosong. Seiring berjalannya waktu, tidak membuat kumandangnya tak kunjung rampung, subhanallah... Majelis-majelis ta'lim ramai dalam bak mobil, segera berkeliling takbiran dengan para rekannya. Sapi, kambing, domba berlayar entah kemana tujuannya. Polisi pun mulai meramai, seperti reuni akbar di sepanjang jalan. Mungkin ia sedang wanti-wanti untuk mencegah keributan dijalan raya atau kemacetan dalam rangka takbiran. Malam yang begitu berbeda dengan malam sebelumnya. Apa yang membuatnya berbeda ?. Suara kumandangnya, seolah-olah termenungi diri sendiri, itulah yang di rasakan para manusia sekitar. Metode yang dapatku lakukan hanya bergeming, termenung, dan sangat terbesit serta mulut tak sanggup melontar sepecerpun. Heningnya malam itu membuat berimaji. Bersyukur sekali sampai saat ini masih di beri kesempatan untuk membuka lebar indera pendengar untuk mendengarkan takbir berkumandang. Sungguh nikmat malam itu, berharap tahun depan dapat mendengarkannya lagi... Amin, amin, amin yarabbalalamin.