Sabtu, 09 November 2013

Kursimu bukan di samping ku, kawan

Tepat delapan hari sesudah  pendakian bersama, aku dan kedua kawanku tidak bisa jauh dari wana liar, yaitu tempatku dan kawanku bermain. Kami sudah merencanakannya sesudah pulang dari pendakian bersama. Hari sabtu, 1 November 2013 kami memutuskan untuk bermain kegunung Gede Pangrango, jawa barat atau di daerah puncak. Kami melewati jalur cibodas, dimana aku dan kawanku sudah pernah menapakkan kaki di jalur dan gunung yang sama. Buatku, mendaki gunung yang sudah pernah kutapakkan, adaptasikan, dan telah ku tidurkan tengah adrinya, bukan berarti gunung itu telah selesai kujelajah. Akan tetapi lebih sering kudatangi, bersua, bercengkrama pada hutan-hutan rimba dan makhluk lainnya, lebih luas pula pengalamanku, inovasiku, dan lebih mencolok serta mendalami akan di balik gunung tersebut. 

Aku memulai petualanganku yang cukup menggemblengkan diriku dan kawanku pukul 17:30 WIB. Menggunakan kendaraan motor merupakan hal yang melelahkan untuk sampai di jawa barat sana. Tetapi, dengan sarana itulah kami beranjak pergi dari lingkungan kotaku hingga tempat lingkungan alamku bermain. Kami menggunakan dua motor, aku eksklusif dan dua kawanku berdua boncengan, seperti laki-laki yang sedang  beranjak dan memberi sanjungan kepada sang betina. Baskara pun terbenam dan candra menunjukkan keindahannya pada malam itu, sekaligus menggelapi planet bumi yang kami tinggalkan untuk tetap hidup sekaligus menjadi penjelajah. Angin malam pun merasuki anggota gerak tubuh. Ia selalu setia menemani perjalananku hingga sana, sesekali membuatku mengantuk pada malam yang berbahagia itu. Kondisi badan yang melelahkan, angin malam yang merangkul konstan, asap kendaraan yang membaui, knalpot racing yang bersuara cempreng, kelangsungan itulah yang membuat bersahabat pada malam yang buta.

Dari sekian lamanya waktu berjalan, perjalanan kami di berhentikan oleh polantas dari kaum gadok, puncak. Kami di spesifikasi dan di mintai identifikasi. Cukup ekspresif bapak polisi itu memberi pengungkapan, gagasan, dan gambaran yang tepat pada kami. Kendala kami hanyalah di surat izin mengemudi, dimana kami belum mempunyai sim atau kurang dari umur 17 tahun, sehingga kami termasuk melanggar formalitas politik berkendara. Kami kena sangsi tilang. Lama kami membahas permasalah itu untuk mencari jalan tengahnya. Aku berbicara kepadanya sangatlah santai, seperti dengan kerabat dekat.Tidak pakai lama, aku memberi sinopsis dan preskriptif kepada sang polisi. Sang polisi pun sebelum kami memberi uang damai sebesar Rp.40,000 ia menahan stnk kami dan membuka harga sebesar Rp.125,000. Alhasil, aku membiusnya dengan lontaranku sehingga aku merogoh kantong dengan uang sebesar Rp.40,000 untuk dua motor atau dengan kawanku tanpa  menahan stnk kami. Kami pun memilih warung terdekat untuk lebih menikmati malam yang dingin sampai tulang-berulang dan termenungi dramatis tilangan malam itu. Polantas tersebut melakukan aktivitas secara efisien sampai rampung, entah sampai kapan. Aku hanya berimaji dan melirik visual ke sudut polantas yang komposit itu.

Gunung Gede Pangrango

Telah sampai di safanarma gunung Gede Pangrango dan waktu menjawab pukul 00:10 WIB minggu, 2 november 2013. Makan dan minum, mengisap udud sampai retas, melakukan packing, kemudian merintis ke jalur pendakian pukul 01.00 WIB. Menikmati perjalanan dengan dua kawan di tengah hutan, mengayun genggaman senter ke kiri dan ke kanan, dan seakan rival kami adalah hutan yang mengelilingi dalam jebakan. Karena pada malam hari tumbuhan melakukan respirasi, beda dengan pagi hari yang melakukan fotosintesis. Maka dari itu kami berebut oksigen pada malam yang buta itu. Dalam seperempat perjalanan kami merasakan perut yang tandus, kekeringan akan makanan. Panci, air, kompor, piring, sendok, kami siap menjadi kokki pendaki. Keluhan ini menjadi tokoh utama yang memutuskan benang mental dalam perjalanan yang tak kunjung rampung. Seiring menapak, canda tawa selalu ironis, lantaran wacana kami yang lelucon berputar pada porosnya. Sekarang.. Hening, tak bising, pikiran dan penglihatan agak kalut, bercengkrama dan sanjungan dalam hati. Terkucur sudah derasnya air keringat ini.

Kandang Badak

Pukul 06.00 WIB kurang lebih, kami sampai diKandang Badak salah satu base camp terakhir sebelum menggapai puncak. Kami melepas semua rintihan ini dalam dinginnya shelter 2400mdpl. Logistik.. Ya, hal pertama yang kami lakukan untuk mengambil makanan untuk di masak, di hidangkan, dan di makan oleh perut yang keroncong ini. Kami pun tidur dalam bivak yang tak tertutup rongga-rongganya sehingga lebih dominan angin merasuki tubuh kami ketimbang dalam tenda. Tak lama kami tidur dalam baiknya istirahat, pukul 09.00 WIB kami terbangun dalam lelahnya badan ini. Makan makanan ringan, packing, siap, segera menuju puncak pukul 10.30 WIB. Kami lebih memilih agra Gede dan lagi-lagi atis menjadi sahabat perjalanan.

Melirik terus-menerus tidak putus-putus, sampailah kami dipuncak Gede 2958mdpl pukul 12.10 WIB. Ada yang berbeda dalam pendaki, pendakian kali ini. Kami di pertemukan oleh manusia-manusia sholeh. Leader dari mereka adzan dalam teriknya matahari. Kami diajak untuk sholat dzuhur berjamaah sekaligus sholat jamak ashar. Pengetahuanku bertambah, ketika salah satu rekan mereka mengajarkanku wudhu dengan cara yang berbeda. Kami semua sholat ke arah kiblat yaitu kearah ka'bah atau ke sisi barat dan bersujud dalam kasarnya pasir bebatuan ini. Aku dan kawanku tetap mengenakan sepatu dalam sembayang. Setelah selesai beribadah, aku lupa nama dari pendaki tersebut siapa, ia seorang ustadz dari jakarta timur. Mereka meminta waktunya sebentar dari kami untuk sharing ilmu atau berceramah mengenai islam dan ibadah. Subhanallah.. Ustadz itu begitu mahirnya dalam mengungkapkan ceramahnya, begitu senangnya aku mendengarkan ia ceramah, begitu pula wawasan dan ilmu pengetahuan agamaku menjadi agak lebih dapat, di banding sebelumnya. Sekitar satu jam kami berpisah dengan rombongan mereka. Aku menikmati puncak Gede bersama kawanku sembari menatap keindahan kawah Gede, samudra awan, dan gunung Pangrango di arah barat. Tidak banyak hal yang kami lakukan, melainkan mengambil view sekitar untuk menjadi dokumentasi yang cakap ini. Kami pun turun menuju Kandang Badak pada pukul 14.10 WIB dan sesampai Kandang Badak pukul 14.50 WIB. Duduk terdiam, persendian mulai bergemetar, nafas lewat mulut yang mulai berasap, akan tetapi hangatnya parafin yang menetralisir dan meminimalisir dinginnya yang kukenal sore itu. Perut telah terisi makanan untuk sumber energi dan cokelat untuk kalori supaya kami tetap gagah akan kelangsungan kami di alam liar itu. Kami pun turun pukul 16.20 WIB, untuk menuju pos pendakian awal. Dan, pada pukul 19.10 WIB kami sampai di pos pendaftaran. Meneduh sejenak dan tidur sesaat, karena hujan mengguyur kawasan gunung Gede Pangrango dan sekitar. 

Detik-detik pait telah marasuki

Sekitar pukul 19.30 WIB kami pulang dengan baju yang basah keringat irisan hujan, celana yang kotor gabungan lumpur, sepatu yang bercorak kotoran tanah, dan pikiran kalut, kacau, tak karuan, dari kaki gunung Gede Pangrango. Mimpi utama kami adalah ingin cepat sampai pada tujuan dengan selamat, tanpa tersendat, tanpa halangan, tanpa musabah, untuk istirahat dan melanjutkan keesokannya, aktivitas sebagai seorang pelajar. Menerabas hujan malam, lantaran kami mengejar waktu. Pikiran telah terputus benangnya, indera penglihat memerah dan menghangat karena kurang istirahatnya serta tertidur dalam hitungan detik di perjalanan, anggota gerak dari ujung kepala sampai ujung kaki lesu, tak berdaya, tidak lagi bersemangat, sebab kami mendaki tektok dalam sehari tanpa istirahat yang pulih. Oh tidak, kami terjebak macet.. Perjalanan yang masih sangat jauh membuat putus asa seketika.. Lagi-lagi pikiran di hantui oleh kekacauan.. 

Sekarang kami berada dijalan Raya Bogor, Parung. Kelajuan kawanku sedikit agak ngebut, aku hanya mengikutinya dan agak sedikit lebih cepat ketimbang sebelumnya yang selalu tunggu-menunggu dalam jarak yang dekat. Tiba-tiba tersendat gas motorku.. Aku memberi indikasi kepada mereka dan mereka telah menoleh.. Aku pun terhenti dari kelajuan yang cepat dan sekali lagi teriak untuk memberi tanda bahwa bensinku habis.. Lagi-lagi mereka hanya mengangguk-aguk keduanya. Tidak.. Bensinku telah habis ludes atau mengering.. Aku mendorongnya dan bertanya dengan ibu-ibu di pinggir jalan, dimana jual bensin terdekat. Hanya kegelapan, angin malam, dan selingan kendaraan yang hanya menemaniku pada malam yang susah buatku untuk mencapai segala keinginanku.. Tidak lama kemudian aku menemukan penjual bensin eceran, dan langsung kubeli bensin itu sebanyak satu liter dengan uang sebesar Rp.7.500. Selesai sudah beban yang kuderita ini. Tetapi.. Uangku habis total.. Aku tak punya pegangan uang sama sekali karena habis terpakai untuk sebelumnya.. Ya tuhan.. Tidak mungkin satu liter ini bisa membuatku sampai dirumah, perjalananku masih sangat jauh.. Aku terdiam, termenung, sesekali berimaji tentang kawanku yang enyah meninggalkanku secara instan.. Entah penyebab dari ia meninggalkanku apa ?. Aku tetap menikmati malam yang sengsara itu secara santai dan tidak tergoyangi oleh ketakutan. Aku bingung.. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi.. Tidak ada yang bisa ku andalkan melainkan diriku sendiri.. Malangnya nasibku.. Aku merasa iba kepada diriku sendiri, astaga..

Pikiranku yang sebelumnya tak berpikir menjadi terus berpikir. Aku menaruh prinsip aku harus tetap hidup, hidup dalam keberanian, hidup dalam sendiri, tetap hidup untuk sampai rumah. Terus berpikir dalam-dalam.. Aku terus berdoa kepada tuhan dalam rongga mulut kecil ini.. Untuk di beri kemudahan, di beri jalan, di beri kekuatan, di beri keselamatan, dan perlindungan.. Aku memutuskan pikiranku yang matang ini untuk meminta uang kepada sang pengendara motor. Dengan maksud ingin meminta uang, uang untuk membeli kan bensin yang seperempat di motorku ini. Memang hal itu bodoh, tetapi menurutku itu metode yang matang dan pasti berhasil untuk aku mencapai kerumah. Aku memberhentikan motor yang sedang berhenti dijalan atau sedang lambat dijalan. Aku tidak memberhentikan yang sedang melaju cepat, karena aku berpikir ia sedang sibuk, mengejar waktu, dan yang pasti tidak akan memberi waktunya untukku.

Seseorang hendak menaiki motornya dan berlayar, aku menghampirinya dan berkata "pak, mohon maaf. Saya boleh minta uang sepuluh ribu tidak ? saya dari gunung, uang saya habis, perjalanan saya masih jauh pak, tolong saya" mukaku yang termelas. Bapak itu menjawab "waduh dek, jujur-jujuran nih, uang saya tinggal segini, tinggal dua ribu, kalau saya punya uang lebih pasti saya kasih dek, mohon maaf dek'' sambil memperlihatkan dompetnya.. benar, uangnya tinggal dua ribu rupiah. Aku melanjutkan perjalananku dan tidak menyerah begitu saja. Mungkin itu hanya ujian buatku dan aku harus tabah menjalaninya. Melaju lambat, seorang bapak-bapak berumur 40an, menurut pikiranku. Langsung saja aku berbicara hal yang sama seperti tadi. Sama.. Bapak itu mengatakan uangnya pas-pasan, tetapi menurutku ia tidak ingin memberi, sedikit kelihatan dari wajah yang tak percaya kalau diriku lagi kesusahan. Lagi-lagi aku harus di hadapi ujian yang berat. Aku terus berdoa kapada yang maha kuasa untuk di beri kemudahan.. Dan, metodeku masih kulanjutkan sampai selesai pada waktunya. Memberhentikan bapak-bapak tak berhelm dan meminta hal yang sama. Bapak itu sedikit tak percaya dan mengatakan "sebentar, depan lagi depan lagi''. Entah maksudnya apa, tetapi dalam benak pikiranku ia takut di guna-guna atau di bohongkan atau pun di labrak. Jelas, tengah malam, berpakaian tak ideal, membuat warga heran menurutku. Bapak itu belok kegang kecil dan berhenti, aku berhenti dan turun dari kendaraanku. Ia memberiku sepuluh ribu dan aku sangat berterima kasih kepadanya sekaligus berterima kasih kepada tuhan yang telah memberi ilmu tak terlihat, aku yakin ia membantuku dalam keheningan. Dengan uang tadi aku bisa membeli bensin yang hampir habis.. Aku lebih sering bertanya kepada warga sekitar dan tukang supir angkot, akan arah ciputat kemana ?. Jawaban dari mereka salah satunya "masih jauh". Pikiranku sedikit down. Aku tidak mau bensinku habis lagi, karena aku harus mendorongnya, aku tidak mau. Aku menargetkan harus mendapatkan sepuluh ribu lagi.. Lagi-lagi bapak satu itu agak tidak percaya akan sikapku. Ia tidak memperhatikan wajahku tetapi ia mendengarnya. Aku tetap mengikutinya dan berada di sampingnya. Pergerakannya sangat intelektual dan akting berhentinya yang cukup bagus karena takut, takut aku sebagai penjahat dan ada yang mengikuti dari belakang, maka dari itu ia berhenti seketika dalam hitungan detik lalu berjalan lagi hampir tiga kali ia melakukan hal seperti itu, dan yang terakhir kalinya di sebuah warung kaki lima. Aku mengatakan "pak, bapak mau bantu saya nggak ? kalau tidak yasudah!" tegasku. Lalu ia memberi sepeluh ribu kepadaku dan aku mengatakan "ikhlas gak nih pak ?". Bapak itu mengangguk dan mengatakan "yaudah gih, awas mobil". Begitu baiknya bapak itu, yang sebelumnya ku kira bapak yang sombong, tak acuh, dan menyebalkan.

Selesai sudah permasalahanku dan tidak ada beban pikiran yang membuatku takut. Aku berdoa dengan kencang di atas flyover ciputat "yaallah berikan kemudahan, keselamatan, di beri rizki yang berlimpah kepada bapak yang telah membantuku tadi yaallah". Aku berada di UIN, dan sekarang dirempoa mengisi bensin, dan melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sesampai dirumah pukul 23.00 WIB, beres-beres, menyucikan diri, lalu tertidur dalam lelahnya tubuh.
  
Hidup Dalam kemunafikan 

Sedikit terpikir, mengapa kawan yang selalu kubanggakan, kuanggap teman sejati, teman terbaik dari yang lain, teman yang solider, begitu salah ku anggapnya ?. Kawan satu organisasi, satu keluarga, satu rasa. Organisasi ini yang salah, apa mereka yang salah masuk organisasi ini ?. Kata-kata slogan yang selalu memberikan kesenangan hati, kesetia kawanan yang berarti, kumuntahkan lepeh-lepeh. Mereka mementingkan individualisme dan idealisme, aku tak suka itu. Omongannya penuh kemunafikan dan kenyataannya tidak sederajat dengan apa yang telah di lontarkannya pada sebelumnya. Pura-pura suci dan mengatasnamakan tuhan. Membutuhkan bila tertekan, tetapi tak acuh kalau berkuasa. Aku tahu mereka sangat lelah dan ingin sampai tujuan dengan cepat, sama halnya denganku. Aku juga ingin. Tetapi disini posisiku lagi tertekan, seharusnya teman yang erat mengertikan kawannya yang sedang kesulitan. Buatku dia bukan teman, apalagi kawan. Karena teman dan kawan menurutku berbeda.

Rekaman Kecil 

  Hapus mementingkan individualisme
Begitu pula idealisme
Stop kemunafikan dan omongan slogan
Lebih baik di asingkan dari pada menyerah dalam kemunafikan
Pura-pura suci mengatasnamakan tuhan
Merintih kalau ditekan tetapi menindas kalau berkuasa
Jauh lebih baik hidup sendiri dari pada berteman dalam kebohongan menyakitkan
Aku tidak takut sendiri
Tuhan juga sendiri
Dan, dia bisa menjadi maha kuat
Karna itu


-malam mingguku, ku ambil untuk menulis blog yang penuh kesan ini. Tepat seminggu setelah perjalanan, aku membuat blog ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar