Jumat, 01 November 2013

Bersama Kalian, Kami menjadi satu

Pendakian Bersama

Acara   : Pendakian bersama sman 82 jakarta.
Tujuan  : Mempererat persaudaraan satu sama lain, mencintai alam dan segala isinya,
                 menyukuri ciptaan tuhan dan menghargai sedikit makanan dan minuman.
Lokasi    : Gunung Papandayan, Jawa barat, Garut.
Tanggal   : 25,26,dan 27.

"Pendakian bersama gunung papandayan, ini lah spot terbaik untuk di daki oleh para kaum anak adam untuk perdananya mendaki gunung. Tentu saja medan yang tersedia tidak amat ekstrem dan cukup ramah untuk di daki oleh pendaki pemula. Gunung Papandayan ini terletak diJawa barat, kecamatan Cisurupan, kabupaten Garut atau 70km sebelah kota bandung. Gunung ini memiliki ketinggian 2665mdpl (meter di atas permukaan laut). Ada dua jalur untuk menjadi sarana tracking titik awal gunung ini. Pertama jalur Cisurupan Garut dan yang ke dua Pengalengan Bandung. Menurut sepengetahuanku dan imaji terus berpikir dan mengingat, terdapat 4 kawah digunung Papandayan ini yaitu, kawah Mas, kawah Baru, kawah Nangklak, kawah Maruk. Gunung ini mempunyai ke indahan tersendiri menyerupai kawah yang menarik perhatian indera penglihatan untuk terus melirik dan mengundang kamera menjepret untuk segera di abadikan di dalam kamera. Kedua hutan mati, ke  indahannya tidak kalah menarik dengan yang sebelumnya sebab, pohon-pohonnya mati. Bagaimana ciri-ciri dari pohon tersebut ?. Pohon tersebut tidak berdaun sepeserpun, warnanya menua atau kering menghitam, dan pohon tersebut tidak lah tinggi-tinggi. Mengapa pohon itu bisa mati ?. Lahir dari sebuah bencana, yakni erupsi gunung Papandayan pada tahun 2002 silam. Kejadian tersebut menjadikan hutan mati terlihat sangat eksotis. Ketiga, berakhir di padang edelweiss yang bernama Tegal Alun. Padang luas dengan di penuhi Anaphalisjavanica, nama latin edelweiss atau sering kita sebut bunga abadi terbentang luas hingga 35 hektar".

JAKARTA, 25-10-2013

Duduk dalam ruangan dalam bisingnya gegap gembita manusia. Menunggu, menunggu, dan menunggu bel akhir pada pembelajaran hari jumat pada kala itu. Semua anggota organisasi pencinta alam WerdiBhuwana dan peserta pendakian tidak sabar untuk segera menapakkan kaki diJawa Barat, Garut. Sehabis sholat jumat kami semua pulang kerumah masing-masing untuk mengambil carrier dan segala isinya yang sudah kami persiapkan dari jauh hari dengan matang.

Sore kala fajar terik di atas kepala, keringan mulai membasahi lengan, menahan dahaga yang kering, menunggu keberangkatan menuju Cisurupan, Garut. Kilau kerucutnya telah terbenam. Kami semua berkumpul disekolah kami, sekolah menengah atas yaitu, sman 82 jakarta. Ditkp kami mempersiapkan diri lebih cakap sekaligus membongkar isi carrier untuk mengecek kembali isi bawaan dan melakukan packing agar tersusun rapi tidak amburadul.

Tepat pukul 11:56 WIB, kami berangkat dengan menggunakan bus tronton TNI yang sudah kami sewa. Tronton ini lah yang akan membawa kami dari singgasana menuju tujuan awal kami. Kami memulai perjalanan dari safanarma atau titik nol. Aku tidak hiperbolis akan gunung Papandayan, karena aku sudah pernah menapakkan kakiku di sana pada awal tahun 2013 silam. Cukup berpengalaman untuk membawa peserta.

Duduk berhadapan dan duduk tersilang di bawah salah satu dari set formasi dari posisi kami duduk di tronton tersebut. Duduk tersilang termenungi dan melihat jalan sepanjang perjalanan salah satu metode yang dapat aku lakukan ketika itu. Sekeliling gelap gabungan tuna netra, lampu kendaraan berseling, irisan tukang asongan yang timbul konstan. Dan, memberi salam pisah kepada ibu kota Jakarta akan keberangkatanku.

Sekarang jiwaku di bawah alam sadar, terdiam, lesu, tak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja menggerakkan badan, tangan, kaki, dan sesekali menggelengkan kepala ke sisi kiri dan sebaliknya. Bumi terus berotasi, waktu berjalan konstan, malam hari berubah menjadi pagi, berharap waktu tempuh lebih cepat dari pada skejul yang telah tercantum agar bisa mempersiapkan lagi dengan cakap. Aku belum juga terbangun, lelapnya tidur lebih bersahabat pada pagi itu.

Cisurupan, Garut 

Cisurupan
Lelapnya tidur membangunkanku pada pagi itu sekitar pukul 06:15 WIB. Sekelilingku hening, tidak bising, dan nun riuh. Aku mengumpulkan tenaga yang baru setengah nyawa kuperoleh. Oh tidak... Kami di berhentikan oleh penduduk desa sana. Karena pendaki di wajibkan untuk menaiki mobil pick up tanpa kendaraan lain. Aku tidak terima begitu saja. Planning kami, tronton lah yang membawa kami dari awal perjalanan sampai dengan akhir perjalanan. Selain itu uang kami tidak mendukung, kalau pun mendukung menurutku tidak ekspresif dan produktif. Memang, hal tersebut sudah formal untuk didesa sana sembari mereka mencari nafkah untuk sesuap nasi dan untuk keluarga tercintanya, akan tetapi kami sudah izin kepada Koramil terdekat dan jawabnya dari salah satu anak adam Koramil tersebut telah mengizinkan. "Naik pick up kami tidak bisa pulang, tidak naik pick up perjalanan kami sia-sia" lontarku. 

Terus berpikir, imaji menembus logika, ingin berbicara takut bergumam. Lama kami berbincang untuk mencari jalan tengah dari perselisihan itu. Dan pada akhirnya supir-supir tua itu mengizinkan kami untuk melanjutkan perjalanan menuju pos 1 atau pos pendaftaran. Kami mengocek dan ingin memberi uang setengah dari pick cup itu. "Tidak, saya tidak mau nerimanya. Kami semua disini tidak mau di beri jatah tanpa kerja. Udah gapapa jalan aja" ujarnya. Saya memberi 5 bungkus rokok kepada supir-supir garut itu sebagai pengganti uang 600 ribu atau 2 pick up. Kita semua saling merasa tidak enak, tetapi itu lah cara dari segalanya untuk melengkapi lapang kosong kami. ''Untuk kali ini boleh, lain kali jangan ya. Karena adek juga jauh dari Jakarta kasihan'' tegasnya. Kami pun berangkat pada pukul 08:56 WIB dan sampai pos pendaftaran sekitar pukul 09:45 WIB.

Gunung papandayan 

Kami semua meninggalkan egoisme dan idealisme  yang ada di dalam diri. Tetapi, kita hidup bersama dalam kehidupan demokrasi yang sekuler, maka dari itu aku mencari kebebasanku, mungkin begitu juga dengan mereka. Asas kebersamaan, seperjuangan, senasib sepenanggungan selalu kami terapkan dalam hal kecil kepada satu sama lain. Dalam hidup kita tidak di hadapkan oleh pilihan, tetapi kita sendiri lah yang memilih pilihan itu untuk menjadi inovasi kehidupan agar produktif.

Safanarma dari kaki Gunung Papandayan
Tepat pada pukul 10:45 WIB, kami berangkat dari pos pendaftaran dan tidak lupa mengambil foto untuk pertama kalinya secara bersama di tambah selipan spanduk dan berdoa kepada tuhan yang maha kuasa atas segalanya. Kami berdoa menurut kepercayaan dan agama kami masing-masing.

Di bantaran kawah
Aku sendiri lah yang membawa semua peserta untuk tracking atau di sebut juga dengan leader. Mendaki melintasi kawah yang berbau asap dari kawah tersebut di tambah air belerangnya yang sangat menusuk indera pencium. Saya menganjurkan lebih cepat perjalanan karena menimbulkan efek tidak baik bagi tubuh dan menyuruh peserta memakai masker atau slayer. Menapak jalan setapak, jalan yang penuh bebatuan tajam, kadang kala aku merasa risih pada telapak kakiku dan merintis kesakitan, mungkin sama halnya dengan yang lain. Menahan berat beban, satu-satunya beban terberat bagiku. Karena saat pendakian itu ada yang berbeda. Aku membawa semua tenda atau enam tenda beserta framenya. Berat carrier, kuperkirakan sekitar 25kg.

Selalu kami menemukan hal-hal lucu, hal-hal baru pada saat pendakian itu. Matahari mulai menusuk rongga mata, panas membakar kulit perlahan, keringat mengucur di dahi menetes hingga membasahi sekujur tubuh. Dan hampir setiap saat aku memberi nasihat akan membuang sampah pada kantong plastik atau tidak membuangnya sembarangan. Aku mengajari peserta lebih mencintai alam beserta isinya. Selain mencintai, melindungi dan menjaga juga menjadi pemimpin utama dari menjaga ekosistem alam. 

Hutan Mati

Keindahan hutan mati
Sehabis melewati ujian pertama yaitu melewati kawah, kami di hadapi dengan hutan mati. Papandayan menghadirkan panorama yang tak lagi gersang. Sambutan pepohonan yang tua menghitam akan menjadi pemandangan yang lazim seluas mata memandang. Para pengunjung dapat lebih menikmati perjalanan pendakian tak lagi seterjal di kawasan perkawahan. Di situ lah aku berpisah dengan rombongan peserta dan dua orang kawan aku dari organisasi WerdiBhuwana yang ikut membantuku dalam mendirikan tenda diPondok Salada. Sebelumnya aku sudah mempersiapkan salah satu dari panitia atau anggota WerdiBhuwana yang kutunjuk sebagai leader atau penggantiku sementara.

Terduduk, menarik nafas dalam - dalam
Panorama yang mempesona
Dan, menghembuskannya secara
pelan-pelan
Termenung, pikiran sedikit kalut
Terbesit melihat kenampakan alam, seakan mimpi belaka
Sudah lama tak bersua dengan mu alam terbuka
Tetap bergeming..
Satu..
Dua..
Tiga..
Beranjak dari singgasana
Merintis..
Hingga tempat berleha-leha


Base Camp, Pondok Salada
  
Kurang lebih pukul 13:30 WIB, kami semua bisa berkumpul bersama lagi diPondok Salada. Ya, tempat camp yang bernuansa sangat lega dan memiliki sangat kelebihan seperti, dekatnya dengan sumber air, pemandangannya yang mempesona sehingga mengundang mental untuk lebih berleha-leha dan memanja dalam hangatnya tenda secara tidak langsung dan edelweissnya yang seakan mengajak bercengkrama. 

Demo, menandakan perut yang tandus, kerongkongan yang begitu serat, air yang menetes perlahan jatuh ke tanah, mulut dan bibir yang mengering, baju yang basah tertimpa keringat, panas yang terik, matahari berada di atas kepala. Semua tidak menjadi permasalahan yang berarti, karena kita tertawa bahagia bersama. Bukankah itu menjadikan kita semua sama?, sama mengalami penderitan yang sama, dan bersama untuk saling menjaga.

Berada diPondok Salada
Lagi-lagi selalu kuingatkan padanya, jangan buang apapun, kemanapun, dan mengambil apapun. Agar bisa terus dinikmati banyak orang atau keturunan kita selanjutnya, sebaiknya kita cukup menikmati saja pemandangan keindahan tanaman ini tanpa harus memetiknya demi melestarikan Edelweiss. 
Seakan Edelweiss sedang menangis, karena salah satu temannya di petik
Selain tidak memetik bunga abadi, sebaiknya kita menanamkan prinsip tidak membunuh apa pun, tidak meninggalkan apa pun, dan tidak mengambil apa pun dari gunung ini sehingga keindahan Gunung Papandayan menjadi terus lestari. Prinsip itulah yang selalu kugunakan dan kuterapkan di alam liar.

Kami semua lebih memilih tidur sehari diPondok Salada dan untuk mengejar puncak pada pagi harinya. Kebersamaan, Tolong menolong, berbagi, tanggung jawab, tak acuh, selalu kami terapkan di dalam diri dan di dalam kehidupan petualang itu. Canda dan tawa menginovasi kehidupan kami yang sedikit menurun menjadi naik. 

Sebagai pencinta alam yang sungguh, aku tidak lupa beribadah kepada yang maha kuasa dan bersujut pada alas tenda yang menonjol karena rumput-rumput Pondok Salada. Aku selalu bersyukur dan selalu berdoa kepadanya agar di beri kekuatan, kemudahan, perlindungan, dan di jauhkan dari segala bahaya yang meruntuhkan diri kami.

Kabut mulai turun dan dingin mulai merangkul tubuh seperti ikatan yang tak mau lepas. Aku hanya memejamkan mata sejenak mendegarkan dentum napas yang bertalu-talu sembari menunggu masakan yang kumasak.  Perut yang telah terisi di tambah dengan tegukan air tak natural yaitu sumber air instan terdekat dari camp. Segarnya badan ini.

Kabut tebal tak beraturan itu mulai mempersua, matahari mulai berpindah pada porosnya, dingin mulai merasuk sukma. Malam mulai berkawan, kabut mulai merabah masuk, ujung-ujung kaki dan tangan mulai terasa kesemutan, matirasa dan linu, kedua tanganku bersua dan saling bergesekaan, sesekali meniup kearah rongga dan dingin yang menyelimuti permukaan kuping.

Aku menikmati malam itu seperti yang biasa kulakukan di kota. Duduk dalam lamunan panjang dan mencari rasa sepi dalam hidup yang terasing. Aku duduk menekukkan kedua kakiku menyanggahnya dengan kedua tanganku, menarik napas sepanjang-panjangnya sekaligus di temani sebatang racun paru-paru. Aku merasakan kenikmatan yang sudah lama takku dapatkan.

Aku tertidur dalam keheningan dan kicau merdu suara jangkrik, suara kodok yang selalu mendengkur, gonggongan suara pendaki lainnya yang memberikan efek dramatis malam. Khidmat kuucapkan pada malam yang panjang. Pukul 22:00 WIB, badan mulai merasuki kantung tidur atau sleeping bag. kehangatan dalam tenda mulai menetralisir dingin.

Tepat pukul 01:45 aku terbangun dalam dinginnya hutan. Kondisi cuaca tidak memungkinka. Karena pada pagi itu hujan turun membasahi kawasan gunung Papandayan dan kabut sangat amat sebal. Aku dan yang lain tidak mau ambil resiko derastis. Perjalanan menuju puncak kami undur hingga matahari menerbitkan dari arah timur menyinari bumi dan segala isinya.

Pukul 06:00 WIB, kami semua bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan summit attack. Tenda dan carrier kami tingal di base camp hanya saja perkelompok membawa carrier membawa keperluan seperti air minum, makanan ringan, bendera, spanduk, kamera, dan hal lain sebagainya. Tepat pukul 07:00 WIB, kami beranjak dari Pondok Salada menuju Tegal Alun tujuan selanjutnya kami.

Tanah, batu, ranting, menjadi teman setia dalam tengokan bawah
 
Kita berjumpa dengan jalan landai yang dominan, pohon-pohon nan rindang yang menyejukan, alunan nada yang tersusun berirama dari mulut para kenari yang melopat-lompat dari pepohonan, celoteh jangkrik yang bertalu-talu, riak air yang terciprat dari sepatu, suara ranting yang terinjak, semut-semut yang berjalan di atas pohon yang tumbang, menjadi teman setia dalam perjalanan yang buta.

 

Tanjakan Mamang



Salah satu tanjakan terberat di pendakian ini menurutku mungkin ia juga dengan yang lainnya. Tanjakan yang curam dan terjal. Harus tiap saat kami mengangkat kaki menjadi 90 derajat untuk mendaki ke arah atas. Tetapi rasa capai itu semua, akan membayar semua kecapaian kami nanti di puncak, kami tau dan kami percaya.

Tegal Alun 
Berada di titik akhir menanjak, Tegal Alun

Kecantikan Edelweiss, menerobos dinding gelap
Tegal Alun.. Ya, pada pukul 08:23 WIB kurang lebih, berakhir di padang edelweiss bernama Tegal Alun. Ladang yang begitu sangat ramai di penuhi oleh tanaman edelweiss. Lokasi ini bernuansa outdoor, tanpa di di selimuti oleh pepohonan. Senyuman lebar dan tak lupa mengucap rasa syukur atas segala kekuatan yang kami dapat dan lindungannya selalu. Tegal Alun menjadi tujuan akhir. Melewati trak yang bisa dibilang terjal, tetapi kita tetap bersemangat menapaki langkah demi langkah untuk mencapainya. Selama perjalanan pendakian tak henti-hentinya ucapan rasa kagum kepada Tuhan atas ciptaan yang luar biasa ini. Padang luas yang dipenuhi Anaphalisjavanica, nama latin edelweiss terbentang luas hingga sekitar 35 hektar kurang lebih, menurut perkiraanku. Edelweiss yang juga dikenal dengan sebutan bunga abadi kini termasuk tanaman langka. Banyak orang memetik dan menjual  bunga abadi ini di jadikan suvenir. Tak banyak yang dapat kami lakukan di sana, melainkan mengambil view dan di abadikan dalam kamera dan membuat video-video yang berbeda jenisnya.

Seiring berjalannya waktu kami berjabat tangan dengan dua orang bapak-bapak berumur 35 tahun kurang lebih, menurutku. Bertemu manusia baru merupakan hal yang menyenangkan bagiku, dimana aku bisa lebih memahami watak setiap manusia yang tinggal ditempat yang berbeda, memperpanjang tangan saudara ditempat entah beranta, bercerita tentang kampung halaman yang berbeda, memahami budaya yang berbeda, dan menikmati keindahan dari sudut pandang yang berbeda. Kami asik mengobrol sampai-sampai aku lupa perkenalan nama.. Kami saling bertukar cerita mulai dari mendaki gunung, semasa aku duduk di bangku sekolah begitu pun ia, keluarga, dan lain sebagainya. Banyak aku mendapatkan pengalaman yang berharga dari bapak lucu itu. Manusia yang berperawakan satu tinggi, satu pendek, warna kulit sawo matang, cara berbicara cukup jelas walaupun tersendat sedikit, cukup lucu dan menertawakan wacana pada saat itu. Bapak itu berasal dari Garut. Kami sudah seperti seumuran, tertawa bebas, berbicara bebas, tetapi dengan metode itu lah kami menjadi bersahabat.

Bapak lucu itu telah membuat organisasi pencinta alam di sekolah menengah atas sebanyak dua atau empat.. Aku lupa di antaranya.. Namun dalam di lapangan atau di medan perang ia selalu di belakang layar atau hanya mengasih intruksi kepada di dikannya. Bapak itu seseorang yang kuat dalam fisiknya maupun teorinya.

Di tengah bicara bapak itu mengatakan.. "Naik gunung gak harus sampai puncak, puncak itu cuma bonus.."

Waktu yang berjalan ketika diTegal Alun, kami pakai dengan sebaik mungkin dan semaksimal mungkin.

Sekitar pukul 10:50 WIB, kami turun kembali menuju kePondok Salada. Sesampai diPondok Salada pukul 11:30 WIB. Waktu terbuang hanya untuk masak, dimana memenuhi syarat isi perut yang lapar akan energi ini. Pukul 02:30 WIB, kami turun menuju pos awal untuk mengakhiri petualangan yang berkesan ini. Dan, pada akhirnya kami sampai di pos satu pukul 04:20 WIB. Makan, minum, membersihkan diri, menaiki tronton untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju Jakarta. Pukul 22:30 WIB kami sampai di tempat awal kami berkumpul. Beres-beres, pulang kerumah masing-masing dan tidak sabar bertemu sang orang tua tercinta, saudara-saudara tersayang, dan tempat sang berteduh panas dan hujan, di lanjutkan tidur, dan melakukan aktivitas sebagai pelajar.



Rekaman Kecil

Aku manusia
Manusia yang tidak percaya pada slogan
Patriotisme tidak akan tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan
Seseorang dapat mencintai segala sesuatu secara sehat, apabila mengenal objeknya
Dan, mencintai tanah air Indonesia
Dapat di tumbuhkan dengan mengenal Indonesia
Bersama rakyatnya dari dekat

Alam teman baik ku dan di sana tempat bermain ku

Aku mencari kebebasanku secara produktif, ekspresif, dan efektif
Aku ingin lebih mengetahui diri aku di alam terbuka
Karena aku suka tempat eksotis
Aku terasa kecil di mata alam
Digunung lah akan mengetahui diri anda yang sebenarnya
Hidup mandiri, tidak putus asa, pantang menyerah
 Digunung lah mata bisa terbuka secara lebar, indahnya yang menyempurna
Dan, mensyukuri kepada sang maha kuasa atas zat yang telah mengkontrabusikan tata surya
 Dan... Mensyukuri... Menghargai... Sebutir nasi begitu pula setetes air...
 Tidak meninggalkan apapun, kecuali jejak
 Tidak mengambil apapun, kecuali foto
Tidak membunuh apapun, kecuali waktu 

Karena itu aku naik gunug 

 -sultan-

1 komentar: